Misteri Villa Berdarah

Heru menjawab dengan bingung, “Mungkin ada orang yang masuk ke villa ini tanpa setahu kita...dan dia...membunuh Ricky!”

“Tapi aku tidak melihat ada orang yang masuk, Her,” sahut Jefry dengan bingung.

“Aku juga tidak lihat!”

“Apakah di villa ini ada pintu belakang?” tanya Edi perlahan, seperti menggumam.

“Aku tidak tahu,” jawab Heru. “Tapi setahuku tidak ada. Tadi siang waktu aku mandi, aku sempat melihat-lihat dan sepertinya tidak ada pintu belakang.”

“Oh, shit!” maki Jefry dengan jengkel dan panik. “Sebaiknya kita pergi secepatnya dari villa ini!”

“Bagaimana dengan Nirina?” tanya Heru.

“Bawa dia!” jawab Jefry sambil beranjak bangkit, sambil membantu Renata berdiri. “Pasti ada yang tidak beres dengan villa ini!”

Heru segera mendekati tubuh Nirina yang masih tergeletak pingsan di lantai, lalu dicobanya mengangkat tubuh itu. “Ed, bantu aku,” kata Heru kemudian.

Edi segera mendekat dan membantu Heru mengangkat tubuh Nirina.

Jefry berteriak pada Cheryl, “Cher, ambilkan kontak mobilku!”

Cheryl meraih dua kontak mobil di atas meja. Dia tidak tahu mana yang milik Jefry. Mereka kemudian dengan panik menuju ke depan untuk segera keluar dari villa itu. Jefry berada paling depan sambil terus memapah tubuh Renata yang begitu lemas, Cheryl membuntutinya, sementara Heru dan Edi berdua menggotong tubuh Nirina yang pingsan. Secepat mungkin mereka ingin segera keluar dari dalam villa itu, dan tak peduli kalau harus menerobos hujan lebat di luar. Samar-samar mereka mendengar suara lolongan anjing di kejauhan.

Tetapi kemudian terdengar makian Jefry yang penuh kemarahan, “Oh, sialan! Sialan...!!!”

“Kenapa, Jef?” tanya Heru yang berada paling belakang.

“Pintu ini terkunci!” jawab Jefry dengan panik.

“Apa?!”

Jefry meraung jengkel penuh kepanikan, “Pintu ini terkunci, Her! Dan kuncinya tidak ada di sini! Kita terkurung di villa keparat ini...!!!”

***

1 Januari,
satu hari sebelum ditemukannya mayat-mayat itu...

Mereka terduduk lunglai di atas sofa ruang depan, dengan ketakutan dan kepanikan yang makin terasa mencekam. Hujan terdengar masih begitu deras di luar, sementara petir beberapa kali menyambar dengan kilatan kilat yang menerangi jendela kaca depan villa.

Mereka tadi telah berteriak-teriak sekuat tenaga, meminta tolong pada siapapun yang mungkin mendengar, namun tak ada satu orang pun yang datang. Villa itu sepertinya terasing dari bangunan-bangunan lain, dan mungkin suara teriakan minta tolong mereka tenggelam dalam derasnya guyuran hujan di luar. Akhirnya mereka pun merasa sangat capek berteriak dan merasakan tenggorokan yang semakin kering.

Tubuh Nirina yang pingsan telah dibaringkan di atas sofa panjang, sementara yang lain duduk mengelilinginya.

“Kenapa bisa begini, sih?!” rutuk Jefry dengan dongkol. “Apa sebenarnya yang terjadi ini?!”

“Ini salahmu, Jef,” sahut Renata dengan lemah. “Kamu tidak mau menuruti aku...”

“Oh, berhentilah menyalahkanku, Ren!” potong Jefry dengan jengkel. Urat-urat wajahnya nampak bertonjolan karena perasaan yang sangat tegang.

“Sepertinya villa ini memang angker,” cetus Edi tiba-tiba.

“Apa maksudmu, Ed?” tanya Heru.

“Sori kalau aku harus mengatakannya,” kata Edi memulai. “Saat pertama kali aku ke sini bareng Ricky dan Aryo, Ricky sempat menceritakan kalau villa ini pernah dipakai orang untuk bunuh diri...”

“Oh, sialan!” rutuk Jefry dengan ketakutan. “Kenapa Ricky malah membawa kita ke sini?!”

“Ricky bilang kejadian itu sudah lama,” jawab Edi. “Dan menurutnya, tidak akan ada apa-apa di sini. Keluarganya sudah beberapa kali menginap di sini dan tidak pernah terjadi apa-apa.”

“Sekarang terjadi apa-apa!” sentak Jefry. “Bahkan Ricky sendiri juga mati! Dan sekarang kita terkurung di sini! Oh sialan, sialan!”

“Bersabarlah, Jef. Besok pagi hujan pasti sudah reda dan pasti akan ada orang yang lewat.” Heru mencoba menenangkan. “Besok kita bisa meminta pertolongan...”

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (52)