Misteri Villa Berdarah

Jefry tetap tidak mampu menurunkan amarahnya. “Tapi seseorang pasti sengaja meracuni gelas itu, Rick!” teriaknya. “Dan...sekarang blak-blakan saja, satu-satunya orang yang ada di dalam ruangan villa ini ketika kita semua berada di luar hanyalah Edi...”

“Jef!” sentak Edi dengan terkejut. “Kamu pikir aku bermaksud meracuni pacarmu?!”

Jefry langsung menatap Edi dengan galak. “Semua orang ada di luar waktu ada kembang api itu, Ed, tapi kamu sama sekali tak keluar sebentar pun. Apa yang kamu lakukan di dalam?!”

“Sialan!” maki Edi dengan marah. “Aku di kamar mandi, brengsek!”

“Siapa yang menjamin kamu benar-benar di kamar mandi? Dan siapa yang menjamin kalau kamu tidak menaruh sesuatu dalam gelas pacarku?!”

“Jef! Jaga ucapanmu! Apa untungku kalau pacarmu mampus?!”

Jefry yang semenjak tadi telah disulut amarahnya itu bergerak mendekati Edi dengan wajah yang merah padam. Renata memegangi lengan pacarnya, namun Jefry seperti telah kesetanan. Tetapi sebelum Jefry sempat bergerak lebih jauh, Heru dan Ricky segera menghalang-halangi langkah Jefry.

“Jef, ini semua tidak ada manfaatnya,” kata Heru mencoba menyabarkan. “Kamu tidak bisa langsung menuduh Edi seperti itu.”

“Besok kita akan mengetahui apa yang terjadi, Jef,” sambung Ricky dengan suara yang tenang. “Apapun yang terjadi, besok kita akan tahu apa yang ada dalam gelas Renata dan setelah itu kita bisa memutuskan langkah selanjutnya.”

“Itu kalau bajingan itu belum meracuni kalian!” bentak Jefry dengan galak. “Siapa yang menjamin kalau dia tak akan mengulangi perbuatannya?!”

Edi yang berada di belakang Heru dan Ricky terlihat menerjang ke arah Jefry dengan marah, sementara Jefry telah bersiap melayangkan serangannya pada Edi. Heru segera menarik Edi agar menjauhi Jefry, sementara Ricky mendorong Jefry.

“Kenapa kalian tidak bisa sedikit dewasa?!” bentak Ricky dengan jengkel. “Masalah ini akan bisa diselesaikan dengan cara yang lebih baik kalau kalian mau tenang dan tidak seperti anak kecil begini!”

“Apa yang akan kamu lakukan kalau bajingan itu mencoba meracuni Nirina, Rick?!” balas Jefry dengan suara yang masih jengkel.

“Tutup mulut, Jef!” bentak Ricky lagi. “Sekarang kita selesaikan masalah ini sampai di sini, dan jangan ada lagi yang mencoba membuat masalah ini semakin keruh! Kita telah kehilangan seorang sahabat kita, dan tidak seharusnya kita malah melakukan hal yang konyol seperti ini!”

Sekarang Jefry maupun Edi seperti baru disadarkan bahwa mereka telah kehilangan Aryo, salah satu kawan mereka yang paling dekat. Sekarang Jefry maupun Edi mulai mau duduk dengan tenang kembali di kursinya masing-masing meski Heru dan Ricky tetap berjaga-jaga agar kedua bocah itu tidak saling menerjang kembali.

Jefry kembali duduk di samping Renata yang kini terisak-isak ketakutan, sementara Edi duduk sendirian di tempat yang tadi diduduki oleh Aryo. Jarum jam terus berdetak, dan saat Ricky menengoknya, kini jarum jam telah menunjukkan pukul 00:20. Ricky terlihat gelisah. Udara terasa semakin dingin, dan hujan di luar sepertinya bertambah deras mengguyur bumi.

Rencana semula, Ricky dan kawan-kawannya akan menikmati bir yang telah mereka bawa saat memasuki pergantian tahun, tetapi rencana itu sepertinya jadi terlupakan. Bahkan gelas-gelas minuman yang masih ada di meja pun kini tak tersentuh lagi. Mungkin mereka masing-masing merasa trauma kalau-kalau ada gelas lain yang mengandung racun mematikan.

“Apa tidak sebaiknya kita bawa mayat Aryo ke rumah sakit terdekat?” kata Heru kemudian, memecahkan keheningan.

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (48)