Misteri Villa Berdarah

Mereka kembali duduk di ruang tengah, hanya saja sekarang mereka menduduki kursi yang berbeda tanpa rencana. Jefry dan Renata menempati kursi yang tadi diduduki Heru dan Cheryl, karena kursi itulah yang paling dekat dengan mereka setelah masuk kembali dari ruang depan. Aryo duduk di kursi yang tadi diduduki Renata dan Jefry.

Ricky dan Nirina masih menempati posisi tempat duduk yang sama seperti semula, dan Heru bersama Cheryl yang datang paling akhir kemudian menempati kursi yang tadi diduduki Aryo dan Edi, karena sekarang tinggal kursi itulah yang masih kosong.

“Si Edi kemana, sih?” tanya Ricky yang melihat Aryo duduk sendirian.

“Tuh,” tunjuk Heru yang melihat Edi muncul dari ruang belakang. Mungkin Edi baru ke kamar mandi, pikirnya.

Aryo merasakan mulutnya asam karena sejak tadi belum merokok. Ia mengambil bungkus rokok di hadapannya, tapi kerongkongannya terasa kering. Merokok sambil merasakan kerongkongan yang kering sama tidak nikmatnya, pikirnya. Maka dengan santai diambilnya gelas yang mungkin milik Renata, dan diminumnya sisa teh yang masih cukup banyak di dalam gelas itu.

Aryo meletakkan rokoknya di bibirnya dan bersiap untuk menyulutkan korek gas, tetapi kemudian rokok yang terjepit di bibirnya itu terlepas dan Aryo tiba-tiba memegangi lehernya sendiri dengan wajah penuh kesakitan.

“Kenapa, Ar?” tanya Jefry yang pertama kali melihat Aryo seperti kesakitan.

“Aaa-aaaarrrkkhhh...!” rintih Aryo dengan tampang kesakitan sambil sebelah tangannya terus memegangi lehernya sendiri. Kedua matanya nampak membelalak mengerikan, seperti menahan sesuatu yang amat menyakitkan.

Kini semua mata tertuju pada Aryo yang semakin menggelepar-gelepar menahan sakit, sementara semua kawannya terdiam mematung penuh kebingungan karena tak memahami apa yang tengah terjadi.

“Kenapa dia?!” tanya Heru yang pertama kali sadar dengan panik.

“Tidak tahu,” sahut Ricky sambil masih memandangi Aryo. Kini kedua mata Aryo semakin melotot, dan kejang-kejang tubuhnya terlihat semakin lemah.

“A-apa yang terjadi?” bisik Cheryl dengan ketakutan.

Ricky kemudian terlihat meloncat dari kursinya dan mendekati tubuh Aryo yang kini telah lunglai di atas tempat duduknya. Kedua mata Aryo masih terbuka, begitu pula mulutnya, namun tubuh itu sekarang tak bergerak sama sekali.

Dengan tubuh yang nampak bergidik, Ricky mencoba menyentuh lengan Aryo, namun Aryo tak bergerak. Disentuhnya urat nadi di pergelangan tangan Aryo beberapa saat, kemudian Ricky berkata dengan panik, “Dia...dia mati...!”

Gerimis yang tadi turun kini berubah menjadi hujan, dan halilintar terdengar mulai menggelegar. Semua orang yang berada di ruang tengah villa itu seperti membeku tak mampu bergerak, menatap Ricky yang masih memegangi tangan Aryo yang terkulai di kursinya.

“Dia mati, kalian dengar...?!” ulang Ricky dengan ekspresi yang semakin panik.

Tetapi halilintar di langit yang menjawabnya.

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (46)