Misteri Villa Berdarah

“Seminggu yang lalu kan ada tugas meresensi tokoh sejarah,” kata Jefry mencoba menjelaskan mengapa dia bisa sampai kenal Abraham Lincoln. “Nah, aku mencari-cari referensi di perpus untuk mencari tokoh yang sekiranya bisa aku resensi. Lalu setelah baca-baca sekilas, aku merasa cocok dengan si Lincoln itu. Makanya, aku baca biografinya untuk bikin resensinya. Di biografinya itu pun dikatakan kalau hm...Abraham Lincoln ini sudah mendapat tanda-tanda sebelum dia kemudian ditembak oleh seseorang.”

“Apakah Lincoln juga melihat kucing hitam yang melintas?” tanya Ricky sambil tersenyum. Dia masih meragukan referensi yang keluar dari mulut Jefry itu.

“Bukan itu,” sahut Jefry. “Sebelum Lincoln tewas tertembak, dia pernah diteror dengan tembakan yang sama, tapi meleset. Lincoln tidak peduli. Dia pikir itu tidak akan terulang. Lalu beberapa waktu kemudian ada tembakan serupa yang menyerempet dekat tubuhnya. Lincoln tetap tidak sadar juga. Dia tidak waspada. Dia tidak lebih hati-hati, tidak mencoba pakai baju anti peluru atau semacamnya, dan akibatnya...kalian tahu sendiri.”

“Aaa-akibatnya aa-apa?” tanya Aryo sambil menatap serius pada Jefry. “Aaa-aku ttid-tidak ttahu!”

Kawan-kawannya nyengir.

“Akibatnya dia tewas tertembak, bego!” jawab Jefry sambil tersenyum.

“Jadi korelasinya apa, Jef?” tanya Heru seperti tambah bingung dengan cerita Abraham Lincoln yang tiba-tiba muncul di villa itu. Mengapa harus membawa-bawa Lincoln ke sini?

“Kamu bilang apa, Her?” tanya Ricky sambil nyengir lagi. “Kore...apa?”

“Korelasi, sialan!” rutuk Heru. “Kenapa sih kalian sepertinya jadi ilfil kalau mendengar kawannya bisa sedikit cerdas?”

Ricky dan Edi tertawa ngakak-ngakak, sementara tiga cewek di atas sofa pun ikutan senyum-senyum mendengar protes Heru.

“Dan korelasi itu apa, Her?” tanya Jefry dengan tampang idiot. “Semacam penganan risoles?”

Ricky dan Edi semakin ngakak-ngakak sementara Heru jadi memaki-maki dengan tampang jutek.

“Tuh, kan,” kata Ricky sambil berusaha meredakan tawanya. “Jefry saja tidak tahu apa itu korelasi, padahal dia sudah kenal sama Abraham Lincoln!”

“Sudah,” rutuk Heru akhirnya dengan tampang yang makin jutek. “Tidak usah diteruskan! Kalian memang benar-benar tidak akademis!”

“Naah, apa lagi itu...?” sambut Ricky langsung yang masih ingin menggoda Heru.

“Jadi korelasi itu apa, Her?” tanya Jefry sekali lagi dengan tampang idiotnya.

“Hubungan, sialan!” jawab Heru dengan dongkol. “Korelasi itu hubungan!”

“Nah, kenapa juga tidak ngomong dari tadi?” balas Jefry. “Mau ngomong hubungan saja kok sampai ke risoles, eh, korelasi!”

Akhirnya ketegangan yang tadi sempat menyelimuti mereka pun kini mencair kembali dengan sendirinya setelah percakapan konyol yang tak disengaja itu. Mereka kini bisa tertawa-tawa lagi, saling meledek dan bercanda. Makanan dan minuman di depan mereka pun bisa dinikmati kembali dengan enak tanpa pikiran yang menjadi berat karena memikirkan kekhawatiran dan ketakutan. Edi sendiri tak mau mencoba lagi membahas masalah tadi yang hanya membuat kawan-kawannya jadi gelisah.

Malam semakin merayap. Hawa dingin semakin terasa di tubuh, dan langit terlihat semakin gelap. Namun Ricky dan kawan-kawannya masih asyik mengobrol di dalam villa yang terang-benderang karena lampu-lampu yang menyala.

Dan sementara itu, sesuatu yang gelap dan mengerikan tengah menunggu detik-detik waktunya...

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (43)