Misteri Villa Berdarah

Heru di sebelah Ricky juga mengatakan hal yang sama pada Edi. Jefry maupun Edi pun segera berbalik dan masuk kembali ke dalam mobil mereka, tapi cewek-cewek di belakang Ricky dan Heru terbangun karena suara-suara mereka.

“Kita sudah sampai?” tanya Nirina dengan suara yang mengantuk.

“Dimana kita sekarang?” Cheryl juga ikut bersuara sambil tengak-tengok kanan kirinya.

Ricky dan Heru yang duduk sambil menggigil di jok depan berharap ketiga cewek di belakang mereka tak melihat pemandangan menakutkan di depan mobil mereka.

“Kenapa berhenti di sini, Rick?” tanya Renata kemudian dengan suaranya yang juga terdengar masih mengantuk.

“Ng...tidak apa-apa,” jawab Ricky dengan bingung. Tapi dia lebih bingung lagi ketika menyadari ular besar yang tadi melingkar di hadapan mereka kini telah lenyap.

“Dimana dia?” bisik Ricky pada Heru.

“Siapa?” tanya Heru sambil berbisik pula.

“Bocah itu...”

“Bocah siapa?”

“Mm...maksudku...ular itu...”

“Aku juga tidak tahu...” jawab Heru yang juga bingung karena tak lagi melihat ular tadi. “Mungkin sudah pergi, Rick,” katanya kemudian.

“Atau jangan-jangan dia ada di bawah kita...” kata Ricky sambil bergidik sendiri.

“Sialan! Kenapa kamu malah berpikir begitu?”

Ketiga cewek yang ada di jok belakang mereka nampak memperhatikan dengan bingung.

“Hei-hei, kalian lagi bisik-bisik apa, sih?” tanya Nirina kemudian. “Kenapa mobilnya tidak jalan?”

“Mm...mesinnya ngadat,” jawab Heru asal-asalan.

“Tapi kenapa bunyi mesinnya masih hidup?” tanya Renata dengan heran.

Heru jadi bingung menjawabnya. “Jalankan lagi, Rick,” katanya kemudian pada Ricky yang sepertinya masih shock dengan pemandangan tadi.

“Gantian kamu yang nyetir, Her,” jawab Ricky. “Tubuhku rasanya lemas semua.”

“Ya sudah, kamu turun,” kata Heru sambil bersiap pindah ke jok di sampingnya.

“Ya kamu dong yang turun,” balas Ricky sambil bergidik membayangkan kalau ular besar tadi masih ada di bawah mobilnya.

“Oh, sialan!” rutuk Heru. “Kenapa kamu jadi pengecut begitu?”

“Dan kamu kenapa juga tak mau turun?”

“Hei, kalian kenapa, sih?!” tanya Nirina dari belakang sambil berkerut heran.

Akhirnya Heru dan Ricky saling pindah tempat duduk tanpa turun dari mobil. Renata, Nirina dan Cheryl yang melihat itu saling berpandangan dengan heran sekaligus bingung.

Ricky nampak lega setelah menduduki jok Heru, dan kini diturunkannya sandaran jok itu. Dia terlihat menghela napas dengan letih. Heru menyulut rokoknya lagi, lalu mulai menjalankan mobil itu sambil berharap dia tak menggilas ular yang tadi. Bulu kuduknya tiba-tiba merinding. Mengapa ular tadi tidak jalan-jalan ke mall saja?!

***

Di dalam mobil Jefry, Edi nampak masih berkerut heran ketika kemudian mobil Ricky di hadapannya mulai melaju kembali.

“Ada apa sebenarnya tadi?” tanya Edi seperti ditujukan pada dirinya sendiri.

“Aku juga tidak tahu, sepertinya ada sesuatu,” gumam Jefry yang kini berusaha memperpendek jarak mobilnya dengan mobil Ricky.

“Sepertinya tadi ada sesuatu yang menghalangi jalan mereka, Jef.”

“Mungkin, tapi aku tidak melihat apapun di depan mobil mereka.”

“Aku juga tidak lihat,” sahut Edi dengan bingung. “Jangan-jangan...”

“Jangan teruskan, Ed!” potong Jefry, lalu berusaha mengalihkan topik pembicaraan. “Apakah jaraknya masih jauh dengan villa itu?”

Edi memahami maksud Jefry. “Sebentar lagi kita akan menjumpai beberapa warung makan dan wartel, dan sesudah itu tak lama lagi kita sampai.”

Jefry mengangguk. Setelah terdiam beberapa saat lamanya, Jefry kemudian bergumam, “Sepi sekali di sini...”

“Ini memang bukan jalan umum, Jef,” sahut Edi. “Hanya sedikit orang yang menggunakan jalan ini. Makanya, terkadang ada...”

“Oh, jangan teruskan!” potong Jefry lagi.

Edi jadi senyum-senyum sendiri. Jefry yang tukang berantem itu rupanya jadi ketakutan dengan hal-hal yang seram seperti itu. Apa yang sekiranya akan Jefry lakukan kalau saja dia tahu villa yang akan didatanginya itu bekas orang mati bunuh diri, batin Edi sambil tersenyum sendiri.

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (39)