Misteri Villa Berdarah

Lalu Jefry menceritakan kisah yang didengarnya dari Renata. Soal pendekatan Aryo terhadap Renata yang terkesan lucu dan kekanak-kanakan, sampai pernyataan cinta Aryo terhadap Renata.

“Dia bahkan sampai mengirim surat cinta segala,” lanjut Jefry. “Surat itulah yang kemudian aku lihat, dan aku baru tahu kalau ternyata Aryo pernah menyatakan cinta sama Renata.”

Edi tersenyum-senyum mendengar penuturan kisah itu. Sama sekali tak pernah disangkanya kalau Aryo pernah melakukan hal semacam itu.

“Yang membuat aku dongkol,” Jefry masih melanjutkan, “dia tetap saja mencoba mendekati Renata meski dia tahu kalau aku sudah menjadi pacarnya.”

“Terus?”

“Ya aku temui,” jawab Jefry langsung. “Aku kasih tahu kalau aku pacarnya Renata dan aku tidak suka kalau dia terus mengusik kehidupan pacarku.”

“Dan tanggapan Aryo?”

“Dia cuma diam saja, tapi aku yakin dia paham maksudku. Setelah itu dia tidak pernah lagi mengusik Renata. Hanya saja...”

Ucapan Jefry terhenti seketika saat Edi tiba-tiba berteriak panik, “Awas, Jef...!”

Jefry pun melihatnya. Ia segera tahu apa yang ditakutkan Edi. Ia segera menekan pedal rem sekuat-kuatnya. Seekor kucing hitam melintas begitu dekat di depan mobilnya.

“Oh, sialan!” maki Jefry setelah kucing itu menjauh. “Mengapa di jalan raya seramai ini bisa ada kucing jalan-jalan?!”

Edi nampak duduk dengan lemas sementara dadanya naik-turun setelah kepanikan sekejap itu. Dia begitu percaya tentang mitos kucing, dan dia pun percaya kalau kucing hitam yang melintas selalu membawa pertanda.

“Aku merasakan perasaanku jadi tidak enak, Jef,” kata Edi kemudian sambil membuang puntung rokoknya dari jendela.

Jefry hanya melengos. Ucapan itu hanya mengingatkannya pada pacarnya yang dinilainya terlalu dikuasai oleh perasaan.

***

Mobil-mobil mereka kini mulai memasuki kawasan dataran tinggi itu, dan jalanan kini mulai menanjak. Hawa dingin mulai terasa, dan meskipun hari belum sore, namun cuaca terlihat gelap di daerah itu. Di dalam mobil Ricky, nampak Cheryl, Renata dan Nirina tertidur saling berhimpitan dalam satu jok, sementara Heru masih ngobrol-ngobrol dengan Ricky di jok depan sambil tak putus-putusnya merokok.

“Masih jauh, Rick?” tanya Heru.

“Tidak lama lagi kita akan sampai,” jawab Ricky. Diliriknya kaca spion dan nampak mobil Jefry masih terus membuntuti cukup jauh di belakang.

Jalanan yang menanjak itu tidak terlalu luas, hanya cukup dilewati satu mobil. Sesekali ada mobil lain yang turun dari arah depan mereka, dan Ricky akan dengan susah-payah meminggirkan mobilnya untuk memberi jalan mobil yang akan turun itu sambil menjaga-jaga agar mobil mereka tak saling menyerempet.

Kadang di sisi pinggir jalan ada persawahan, namun juga ada banyak jurang-jurang menganga yang hanya dilindungi dengan sedikit pagar besi yang mungkin bertujuan untuk menahan kalau sewaktu-waktu ada mobil yang terperosok. Selebihnya adalah hutan yang penuh dengan rerimbunan pohon-pohon tinggi dan besar yang menutup di kanan kiri jalan.

“Kalau melihat jaraknya yang jauh begini, tidak ada salahnya kalau kita lebih lama di sana, Rick,” kata Heru sambil menikmati pemandangan di jalanan yang mereka lewati.

“Kalau yang lain setuju, aku sih setuju saja, Her,” jawab Ricky. “Cuma, cewek-cewek di belakang kita itu yang mungkin akan keberatan.”

Heru melirik ke jok di belakangnya dan didapatinya ketiga cewek itu masih terlelap dalam tidurnya. Heru masih ingat kalau Cheryl pun sudah wanti-wanti agar mereka sudah sampai di Jakarta kembali selambat-lambatnya tanggal 2 Januari.

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (37)