Misteri Villa Berdarah

31 Desember,
dua hari sebelum ditemukannya mayat-mayat itu...

Jakarta diguyur hujan ketika pagi itu Ricky dan kawan-kawannya telah berkumpul di rumahnya. Seperti yang telah disepakati sebelumnya, hanya ada dua mobil yang akan mereka bawa ke villa; mobil Blazer milik Ricky dan mobil Phanter milik Jefry. Edi dan Heru nampak mengangkut dus-dus berisi makanan dan minuman ke mobil Jefry, sementara Renata, Cheryl dan Nirina telah berkumpul di salah satu jok mobil Ricky. Renata akhirnya ikut juga dalam acara ini meski dengan sedikit perasaan segan.

“Rick, di sana pasti dingin sekali, kan?” bisik Jefry saat mereka akan berangkat. “Kamu bawa bir?”

Ricky tertawa. “Tidak perlu khawatir,” bisiknya. “Ada dalam bagasi mobilku.”

Heru ikut naik ke mobil Ricky, sementara Jefry hanya berdua dengan Edi di mobilnya.

Pukul tujuh pagi tepat, kedua mobil itu pun berangkat meninggalkan rumah Ricky diiringi dengan hujan yang masih terus turun dari langit.

“Berapa lama perjalanan ke sana, Ed?” tanya Jefry saat mobil mereka mulai melaju.

“Kalau perjalanan lancar, jam satu siang kita sudah sampai di sana,” jawab Edi.

“Kamu sudah melihat villa itu, kan? Bagaimana keadaannya?”

“Kamu pasti akan menyukainya kalau sudah melihatnya.”

“Ada kamar-kamarnya juga, kan?”

Edi tertawa. “Sepertinya acara ini memang diperuntukkan untuk kamu, Ricky dan Heru. Di sana ada tiga kamar, lengkap dengan tempat tidur.”

Jefry tertawa puas. Tak sia-sia dia memaksa Renata untuk ikut serta dalam acara ini, batinnya sambil tersenyum.

Sementara Edi membayangkan, apa yang sekiranya akan diperbuat Jefry kalau saja dia tahu bahwa villa itu bekas orang mati bunuh diri?

“Aku heran dengan Heru, Ed,” kata Jefry kemudian, “Kok bisa-bisanya dia berhasil mengajak Cheryl ikut acara ini.”

Edi tersenyum. “Kamu tahu sendiri bagaimana dia, Jef. Heru sepertinya punya segala macam akal bulus untuk menggaet cewek manapun yang dia inginkan, tak peduli itu punya orang!”

“Kata Renata, Cheryl tuh sudah bertunangan sama Rino.”

“Iya, aku juga tahu itu.”

“Lalu bagaimana cara si Bulus itu mengajak Cheryl sampai cewek itu mau?”

“Sebaiknya kamu tanya sendiri sama orangnya!” jawab Edi sambil tertawa. “Tapi menurut Heru, Cheryl tidak suka dengan Rino, dan pertunangan itu terjadi karena paksaan dari orangtua mereka.”

“Apa iya?” Jefry seperti tak percaya. “Tapi menurut Renata, Cheryl sama Rino memang saling suka. Renata kan tinggal satu komplek dengan Cheryl. Dia tahu banyak tentang cewek itu.”

“Kalau begitu, bisa saja cewek itu juga sama bulusnya seperti Heru,” sahut Edi sambil tertawa.

Jefry pun tertawa. “Tolong rokokku, Ed,” katanya kemudian.

Edi mengambil rokok di atas dashboard di hadapannya dan memberikannya pada Jefry. Sambil terus mengemudikan mobilnya, Jefry menyulut rokoknya dengan korek gas.

“Kenapa kamu tidak ikutan cari cewek, Ed?” tanya Jefry sambil menghembuskan asap rokoknya. “Kan lebih asyik kalau kita semua punya pasangan.”

“Tidak enak sama Aryo, kasihan dia kalau kita semua bawa cewek sementara dia sendirian.”

“Oh iya, anak itu kan ikut juga, ya,” kata Jefry seperti baru ingat tentang Aryo. “Jadi dia sudah menunggu di villa?”

“Iya, mungkin sekarang villa itu sudah bersih dan sudah siap pakai.”

Jefry mengangguk-anggukkan kepalanya. “Untung kita punya dia,” katanya kemudian.

Edi mengambil rokoknya di atas dashboard dan kemudian menyulutnya. “Kadang aku kasihan kalau melihat Aryo...” katanya kemudian seperti bergumam.

“Aku juga,” sahut Jefry. “Tapi kadang anak itu ada tidak beresnya juga...”

“Maksudmu?”

“Kamu pasti belum tahu ya, kalau si Gagap itu pernah menyatakan cinta sama Renata.”

Edi menghembuskan asap rokoknya dengan terkejut. “Kamu serius?”

“Kamu pasti tidak percaya kalau kuceritakan kisahnya,” kata Jefry. “Aku sendiri tidak akan percaya kalau saja tidak melihat sendiri buktinya.”

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (36)