Misteri Villa Berdarah

Malam hari terasa begitu dingin di villa itu. Aryo telah membersihkan seluruh ruangan villa milik Ricky itu dan kini tengah menikmati kesendiriannya di salah satu kamar yang ada di villa tersebut. Menghisap rokoknya dengan nikmat, Aryo menyandarkan badannya pada bantal di atas springbed empuk yang terasa begitu nyaman dirasakannya. Seumur hidup, baru kali ini ia bisa menikmati empuknya springbed seperti itu, dan Aryo tersenyum sendiri membayangkan kalau dialah pemilik villa itu.

Sesuai dengan perjanjian, besok siang kawan-kawannya akan datang dan mereka akan menikmati malam tahun baru di villa ini, dan Aryo telah mempersiapkan villa ini untuk ditempati. Seluruh kamar telah bersih, lantai villa telah mengkilap, dan kamar mandi serta dapur telah dibersihkan.

Ricky pasti akan menyukai hasil kerjanya seperti biasa. Kemarin Ricky juga telah memberikan uang lagi kepadanya, lebih besar dari pemberian yang pertama, dan Aryo merasa senang dengan uang itu. Ia bisa menggunakan uang itu untuk membeli baju baru di Tanah Abang atau membelikan sesuatu untuk kakek-neneknya...

Ricky memang pemurah, batin Aryo, beda dengan pacarnya yang judes itu. Aryo tahu kalau Nirina tidak menyukainya dan Aryo tak terlalu merisaukannya. Pokoknya, selama Ricky tetap baik kepadanya, tetap membutuhkan tenaganya dan tetap memberikan uang kepadanya, peduli setan dengan Nirina!

Aryo menyesap minuman dalam kaleng yang dibelikan Edi kemarin dan kembali menghisap rokoknya. Sejak tadi siang dia tidak makan nasi, tapi wafer dan makanan lain yang dibelikan Edi kemarin cukup untuk mengganjal perutnya. Besok kawan-kawannya pasti akan membawakannya nasi, juga banyak makanan dan minuman yang bisa dinikmati sepuas-puasnya.

Aryo merasakan udara semakin dingin, dan dia pun menarik ritsleting jaketnya. Untung aku bawa jaket, pikirnya. Angin terasa berhembus cukup kencang, merontokkan daun-daun pohon mangga yang tak terurus di depan villa. Saat rokoknya habis, Aryo merasa kebingungan. Apa lagi yang dapat dikerjakannya?

Sendirian tanpa kegiatan, tanpa kesibukan lagi yang dapat dilakukan, membuatnya jadi bingung. Ricky kemarin telah meninggalkan sebuah tabloid hiburan edisi terbaru yang mereka beli di pom bensin, namun Aryo telah membacanya. Mau tidur, tapi kedua matanya terasa belum mengantuk. Tidak ada televisi yang dapat ditonton, bahkan tak ada radio yang bisa dijadikan teman kesepian.

Telepon! pikirnya kemudian secara tiba-tiba. Mengapa tak digunakannya saja telepon di depan itu untuk menghubungi kawan-kawannya?

Tetapi kemudian Aryo memaki sendiri dalam hati. Selama ini Aryo tak terbiasa saling menelepon dengan kawan-kawannya karena dia belum pernah memiliki ponsel dan dia sama sekali tidak hafal satu pun nomor telepon atau nomor ponsel kawan-kawannya. Mengapa dia tidak ingat untuk meminta Ricky dan Edi meninggalkan nomor telepon mereka? Aryo mengutuk dirinya sendiri. Jadi telepon itu memang berfungsi, tapi Aryo tak bisa menggunakannya!

Mata Aryo melihat sekilas tabloid hiburan yang tergeletak di atas meja di samping springbed-nya. Apa kata Ricky kemarin itu? Jangan menelepon party line?

Aryo tahu layanan telepon mesum itu. Ada cukup banyak iklannya di majalah dan tabloid hiburan, dan Aryo sudah biasa melihatnya. Sesopan apapun gambar iklannya, kawan-kawannya pernah bilang kalau layanan telepon party line itu pasti berisi cewek-cewek yang pintar diajak ngomong jorok.

Heru yang dulu pernah kecanduan party line bahkan pernah menceritakan sambil mabuk bahwa dia bisa melayang-layang kalau sudah menelepon cewek-cewek di layanan party line itu. Mengapa tak dicoba saja sekarang? Di tabloid hiburan yang ada di dekatnya itu terdapat banyak iklan layanan semacam itu dan dia bisa memilih salah satunya. Apa salahnya menghibur diri sendiri, pikir Aryo sambil tersenyum senang.

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (33)