Misteri Villa Berdarah

“Berapa banyak villa yang ada di sini, Rick?” tanya Edi kemudian saat matanya mulai melihat bangunan-bangunan yang ia yakini sebagai villa.

“Cukup banyak,” sahut Ricky sambil terus melajukan mobilnya. “Yang disewakan untuk umum juga ada.”

Beberapa saat kemudian, Ricky menepikan mobilnya di depan sebuah gerbang villa, dan berkata pada Aryo, “Sekarang kita sudah sampai.”

Aryo tahu isyarat itu. Ia pun segera turun dari mobil, lalu membukakan pintu gerbang villa untuk jalan masuk mobil Ricky.

“Ini villamu?” tanya Edi yang masih duduk dalam mobil.

“Yeah, kelak akan jadi milikku,” sahut Ricky asal-asalan sambil membawa mobilnya memasuki halaman villa. “Sekarang masih milik papaku.”

Villa itu nampak tidak terawat. Lantai depan dan jendela-jendelanya terlihat kusam, sementara halaman terlihat kotor.

Edi dan Ricky turun setelah menepikan mobil di depan villa, lalu Ricky mengeluarkan anak kunci dari saku celananya.

“Tidak ada orang yang diminta mengurusi villa ini, Rick?” tanya Edi melihat keadaan villa yang sepertinya tak pernah tersentuh manusia itu.

“Buat apa?” sahut Ricky sambil memasukkan anak kunci ke lubangnya. “Keluargaku belum tentu setahun sekali kemari.”

Mereka memasuki ruangan depan villa yang cukup luas, dan karena cuaca sepertinya mendung dan gelap, Ricky pun segera meraih saklar lampu. Seketika ruangan menjadi lebih terang.

“Masih ada listrik di sini?” Edi bertanya lagi dengan heran.

“Yeah, meskipun kami jarang ke sini, tapi listrik tetap dibutuhkan, Ed. Keluargaku bahkan tetap membayar sambungan telepon yang ada di sini meski tidak pernah digunakan.”

“Mmub-mubazir sssekali...?” sela Aryo.

Ricky tersenyum. “Bukan begitu. Keberadaan listrik dan telepon yang dipertahankan agar tetap ada di sini itu maksudnya biar kalau ada yang berminat membeli villa ini, fasilitas di sini sudah lengkap.”

“Memangnya ada rencana buat dijual?” tanya Edi jadi ingin tahu.

“Dulu, waktu papaku baru memiliki villa ini, rencananya villa ini mau dijual saja karena kami kan sudah punya villa sendiri di Bogor. Tapi tidak laku.”

“Kke-kenapa?” tanya Aryo.

“Mungkin calon pembelinya pada takut,” jawab Ricky santai.

“Takut kenapa, Rick?” Edi jadi penasaran.

Ricky membawa mereka meninjau ruang tengah yang keadaannya sama kotornya seperti ruangan depan. Perabot-perabot dalam villa itu tidak terlalu banyak, dan semuanya ditutupi dengan plastik terpal sehingga terlindung dari debu yang cukup tebal yang menghampar di seluruh lantai ruangan.

“Rick, kenapa?” tanya Edi masih menuntut jawaban atas pertanyaannya tadi.

“Kenapa apanya?”

“Itu, katamu kan para calon pembeli villa ini pada takut.” Edi mengingatkan. “Takut kenapa?”

“Aku mau menceritakan, tapi kalian jangan ikut-ikutan takut, ya,” ujar Ricky.

Edi dan Aryo menatap Ricky bersamaan, menunggu jawaban.

“Villa ini kan dulunya milik rekanan papaku.” Ricky memulai. “Tapi kemudian rekanan papaku itu jatuh bangkrut dan terlilit hutang cukup banyak, termasuk pada papaku. Hutang pada papaku itu kemudian dibayar dengan villa ini, tapi sialnya, sebelum villa ini dipindah-tangankan, si rekanan papaku itu bunuh diri di villa ini...”

“Oh, sialan,” maki Edi. “Jadi villa ini bekas orang bunuh diri?!”

“Kalian sudah berjanji untuk tidak takut, kan?” tagih Ricky sambil senyum-senyum.

“Kka-kamu ttid-tidak ngerjain kkka-kami...?” tanya Aryo kemudian.

“Suer, Ar. Aku sebenarnya tidak mau menceritakan soal itu sama kalian. Tapi kalian kan tanya sendiri?” Setelah menghembuskan asap rokoknya, Ricky kembali berkata, “Tapi kalian tidak usah menceritakan hal itu ke teman-teman yang lain. Nanti mereka pada takut dan rencana kita semula bisa batal...”

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (24)