Misteri Villa Berdarah
2 Januari.

Matahari pagi bersinar cukup cerah. Sekelompok mahasiswa pecinta alam itu tengah bersiap-siap untuk pulang dari lokasi perkemahan ketika peristiwa itu terjadi. Mereka masing-masing tengah sibuk memberesi tenda-tenda dan mengepak barang-barang bawaan ketika Gina, salah satu kawan mereka, berteriak ketakutan sekaligus kesakitan.

“Aaaaaaauuwww...!”

Beberapa orang kawannya segera menengok ke arah Gina, sementara Jimmy, yang berada di dekat Gina, serta-merta mendekati cewek itu dan berteriak panik, “Ada apa?!”

Gina menunjuk-nunjuk sesuatu yang tengah bergerak perlahan di atas tanah, di dekat onggokan tenda yang baru diturunkan. Seketika mata Jimmy menangkap seekor ular yang bergerak mendekatinya. Panjang ular itu sekitar setengah meter, berkulit hitam mengkilat dengan bintik-bintik warna kuning dan jingga di sekujur tubuhnya, dengan kepala yang pipih dan membesar.

“Tapi bukan ular kobra,” batin Jimmy sambil memperhatikan ular itu dengan hati-hati. Dengan cepat, diambilnya sebuah tongkat penyangga tenda dan segera dihantamkannya tongkat besi di tangannya ke arah ular itu.

Semua orang langsung mengerubuti ular itu dan menyaksikan bagaimana Jimmy menghajarnya tanpa ampun. Hanya dalam waktu singkat, ular itu sudah tak bernyawa, dan Jimmy melemparkannya dengan ujung tongkatnya.

Kini semua perhatian tertuju kepada betis kaki Gina yang nampak melepuh.  

“Aduh, sakit sekali,” rintih Gina.

Masalah semacam itu bukanlah masalah yang asing bagi para pecinta alam yang sudah terbiasa mendaki gunung dan menjelajahi hutan itu. Terseret jalanan yang menurun curam, tersesat di tengah belantara, dehidrasi, terjatuh atau terluka karena sesuatu, tersangkut akar liar, ataupun dipatuk ular, itu sudah menjadi hal yang biasa dalam aktivitas mereka. Dan mereka pun segera tahu bagaimana cara menghadapinya.

Bimo yang tahu apa yang telah terjadi pada diri Gina segera menyobek kain yang telah dipersiapkan dalam tas ranselnya, dan kemudian segera membebatkannya ke kaki Gina, untuk menahan agar racun ular yang mematuknya tadi tidak segera merambat ke bagian tubuh yang lain.

“Sakit sekali, Bim,” rintih Gina lagi merasakan kain yang mengikat kuat di kakinya.

“Tahan saja, kita akan segera mencari pertolongan,” sahut Bimo.

Arman, si ketua rombongan, nampak memperhatikan luka di kaki Gina, dan kemudian bertanya pada Jimmy, “Ular apa tadi yang mematuknya, Jim?”

Jimmy cuma nyengir dan menjawab asal-asalan, “Aku tidak sempat menanyakan namanya, Ar.”

“Sialan! Kamu kan melihatnya dengan jelas?!” ketus Arman.

“Tapi aku tidak sempat memperhatikannya. Yang ada dalam pikiranku cuma sesegera mungkin membunuhnya. Dan kamu tadi kan juga melihatnya?”

Arman mengangguk. “Tapi aku tidak tahu itu ular apa.”

“Aku juga tidak tahu!” sahut Jimmy. “Baru tadi itu aku melihat ular yang aneh seperti itu.”

Pepen yang mendengar percakapan itu segera nimbrung, “Jangan-jangan itu ular jadi-jadian,” katanya.

“Jangan ngawur!” sembur Jimmy sambil bergidik karena dialah yang tadi membunuh ular itu. “Mana ada ular jadi-jadian muncul pagi hari begini?”

“Ya siapa tahu, kan?” balas Pepen.

Jimmy seperti akan berkata lagi, tetapi Bimo yang telah selesai mengurusi kaki Gina kemudian berkata, “Kita harus cepat cari pertolongan nih!”

Arman kembali memperhatikan kaki Gina dan kini betis Gina nampak mulai memucat. Ikatan kain yang dibebatkan Bimo pasti sangat kuat menghentikan aliran darah di betis Gina. Arman pun menyadari bahwa secepat mungkin mereka harus mendapatkan pertolongan.

“Ada beberapa villa di dekat sini,” kata Arman kemudian. “Kita bisa ke sana dan meminta bantuan.”

Kawan-kawannya yang berjumlah sepuluh orang itu pun segera bangkit dari tempatnya masing-masing. Gina berdiri dan dipapah oleh Bimo serta Arif, sementara yang lain segera melangkah menuju daerah villa yang ditunjuk Arman.

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (2)