Dunia Tak Terlihat

Tulisan di gulungan kertas kedua habis, dan anak lelaki itu membaliknya untuk membaca tulisan di gulungan kertas ketiga...

“Hidup ini luar biasa—bahkan terlalu luar biasa untuk sekedar dituliskan. Di sini, aku semakin tahu—dan semakin meyakini—bahwa hidup ini memang luar biasa; ia tak pernah bisa dibohongi. Kalau kau hidup di duniaku, kau akan meyakini itu—lebih yakin dibanding ketika kau masih hidup di duniamu.

Pernahkah kau membayangkan mengapa tanah tempatmu menanam biji mangga tak pernah mau menumbuhkan durian—meski kau memberinya pupuk durian sekalipun? Karena hidup ini memang luar biasa—ia luar biasa adil, luar biasa jujur, sekaligus luar biasa menakjubkan—ia hanya menumbuhkan sesuatu yang memang pernah kita tanamkan kepadanya.

Dan dunia ini selalu menyaksikan—dengan tatapan yang sama adilnya—segala sesuatu yang pernah kita tanam, yang kemudian kita tuai. Dan di sinilah aku sekarang—menjadi seorang Raja—sebagai takdir yang kini kupetik dari sesuatu yang pernah kutanam—meski aku sudah lupa bahkan tak tahu kapan aku dulu menanamnya.

Di sini, di duniaku, ada sebuah buku yang begitu dipercaya sebagai kitab kebenaran yang disebut sebagai Kitab Sang Nasib. Seluruh rahasia menyangkut duniaku ada dalam buku itu, bahkan nama-nama yang kelak akan menjadi Raja di sini pun telah tercantum dalam buku itu—bahkan mungkin berabad-abad sebelum orang yang dituju dilahirkan.

Aku tak pernah tahu siapa yang telah menulis buku yang begitu hebat itu—mungkin para generasi terdahulu, para leluhur di duniaku ini—namun aku tahu bahwa sesungguhnya buku itu adalah taman kecil dari sebuah kebenaran yang agung. Dan namaku tercantum dalam buku itu sebagai salah seorang yang akan menjadi salah satu Raja di sini—bahkan sejak berabad-abad yang lalu sebelum aku dilahirkan—dan kemudian sekarang aku memenuhi takdir itu. Bukankah itu suatu hal yang menakjubkan—bahkan amat menakjubkan...?

Namun begitulah hidup—ia amat menakjubkan—ketika kita mau untuk mulai memikirkannya.”

Anak lelaki itu membalik gulungan kertas ketiga dan mulai membaca kata-kata di gulungan kertas keempat...

“Hidup ini luar biasa—bahkan terlalu luar biasa untuk sekedar dituliskan. Pada saatnya nanti, setiap orang akan sampai pada titik dimana dia akan memperoleh segala sesuatu yang pernah ditanamnya dalam hidup—tak peduli kapan waktunya dan dimana tempatnya, tak peduli apakah dia masih ingat ataukah sudah lupa pada segala yang pernah ditanamnya. 

Seperti yang kini terjadi pada diriku. Namaku tertulis dalam Kitab Sang Nasib di duniaku sekarang ini. Padahal ada beribu-ribu orang yang memiliki nama sama denganku—Rafli atau Rafael—namun kemudian tangan sang Nasib menggerakkan hidupku untuk menjumpai takdir agung sebagai seorang Raja. Mengapa aku yang terpilih sementara ada ribuan orang lain yang juga memiliki nama sepertiku?

Semakin aku mencari jawabannya, semakin aku tahu bahwa kita tak pernah tahu bagaimana cara takdir bekerja—ia hanya datang pada orang yang tepat untuk menerimanya—keagungan dan kemuliaan hanya memilih setiap orang yang memang hidup dengan menjaga keagungan serta kemuliaannya. Aku tak pernah tahu itu—namun kemudian takdir hidupku memberitahuku.

Ketika menerima takdir ini, ketika aku mendapatkan nasib baruku sebagai seorang Raja, aku memang harus kehilangan banyak hal yang dulu pernah kumiliki—keluarga, kekasih, kawan dan sahabat, dan semua hal yang pernah kumiliki dulu—yang pernah membuatku bersedih karena terpisah dari mereka.

Namun ketika kau telah dianugerahi kebesaran sebagai seorang Raja, kau pun akan tahu bahwa tidak selayaknya kau merasa kehilangan segala hal itu—dan kini aku telah tahu. Jika di tanganmu tergenggam sebutir mutiara yang besar sekaligus indah, kau tak akan merisaukan kerikil-kerikil yang dulu pernah kau miliki, kan?

Ya, hidup ini luar biasa—bahkan terlalu luar biasa untuk sekedar dituliskan. Namun, seperti yang kutuliskan di awal gulungan ini, aku memang sengaja menuliskannya sebagai semacam pengingat bagi diriku sendiri, bahwa hidup ini memang luar biasa...”

Raja Rafael