Dunia Tak Terlihat

Beberapa tahun kemudian setelah itu, suatu perubahan alam terjadi di daerah Semarang—suatu gempa bumi yang besar—yang kemudian menelan korban jiwa begitu banyak, sekaligus meluluh-lantakkan banyak bangunan di sana. Tanah bumi seperti retak dan terbuka karena guncangan gempa yang besar itu, dan ratusan bangunan yang ada di atasnya kemudian hancur berantakan. Beberapa orang yang tak sempat menyelamatkan diri ikut terkubur dalam bangunan-bangunan yang runtuh itu.

Di salah satu lokasi bencana, di suatu senja yang muram, di tengah-tengah puing bangunan yang berantakan dan berserakan, seorang anak lelaki berusia belasan tahun tengah terduduk, tertelungkup dalam pelukan lututnya, sambil menangis di atas puing-puing rumahnya yang kini tinggal menjadi reruntuhan pasir dan batu-bata. Kedua orangtuanya tewas dalam tragedi itu—mereka terkubur dalam reruntuhan rumah yang diguncang gempa—dan tadi pagi ayah dan ibunya telah dikuburkan setelah diangkat dari timbunan bangunan rumah mereka.

Dan di sanalah sekarang anak lelaki itu berada—di atas puing-puing yang berserakan—puing-puing yang telah memisahkan dirinya dengan kedua orangtuanya. Dan dia menangis...dia seperti tak ingin berhenti menangis...

Angin senja berhembus, mengibarkan debu-debu yang agak basah karena ditimpa gerimis tadi siang, dan anak lelaki itu kini mengangkat kepala dari telungkupnya, mencoba memberanikan diri untuk menerima kenyataan hidupnya yang sekarang. Dengan mata merah dan sembab dia mengedarkan pandangannya pada puing-puing rumahnya, kemudian dengan perlahan ia mulai bangkit dari duduknya. Dia harus pergi. Sudah saatnya untuk meninggalkan kepedihan ini.

Saat ia hendak melangkah untuk meninggalkan tempat itu, matanya tertuju pada sesuatu yang mirip gulungan kertas yang terlihat terjepit di antara reruntuhan batu-bata rumahnya. Entah didorong oleh rasa penasaran atau karena tertarik menemukan sesuatu yang baru dilihatnya dari puing-puing itu, anak lelaki itu kemudian menarik dan mengangkat batu-bata di atasnya dan kemudian mengambil gulungan kertas yang terjepit di bawahnya.

Anak lelaki itu menatap sesuatu yang kini ada di tangannya—sebuah gulungan kertas yang aneh, diikat dengan sesuatu yang mirip pita dari daun pandan yang kering—seperti ada beberapa kertas yang tergulung di situ, sedikit basah namun tak saling lengket. Apakah kertas ini milik ayahnya? Atau ibunya?

Dengan perasaan yang penasaran dia kemudian mulai membuka gulungan kertas itu—ingin tahu apa isinya. Nampak tulisan tangan yang rapi dan indah di helai-helai kertas itu—dan dia tak tahu itu tulisan siapa. Anak lelaki itu kemudian kembali duduk di tempatnya semula, di atas puing-puing reruntuhan rumahnya, dan mulai membaca...

“Hidup ini luar biasa—bahkan terlalu luar biasa untuk sekedar dituliskan. Kalau kau pernah tercebur got di salah satu trotoar kotamu dan kemudian kau menghadapi suatu dunia lain yang asing bagimu dan kemudian kau dijadikan raja di sana, kau pun pasti akan setuju bahwa hidup ini memang sungguh luar biasa.  

Namun, untuk meyakini bahwa hidup ini luar biasa, kau tidak perlu tercebur got—atau yang semacam itu. Ada banyak hal di dalam hidup ini yang dapat kita lihat—dan yang dapat kita pikirkan—untuk membuktikan bahwa hidup ini luar biasa.

Aku menulis catatan dalam gulungan kertas ini ketika aku menjadi Raja di sebuah dunia yang pada mulanya asing bagiku—suatu dunia yang berada di dasar bumi—dan aku sengaja menulisnya untuk menjadi semacam pengingat bagi diriku sendiri bahwa hidup ini memang luar biasa. Kelak, aku pun ingin mewariskan gulungan kertas ini kepada anak-anakku kalau aku punya anak, atau kepada raja sesudahku, atau kepada siapapun yang kurasa layak menjadi pewarisku untuk menerima gulungan kertas ini.

Bersambung ke: Dunia Tak Terlihat (25)