Dunia Tak Terlihat

Beberapa hari setelah hilangnya Rafli—dan setelah ultimatum pemutusan hubungan mereka—Eliana merasa sedih, dan juga kehilangan. Ia seperti baru menyadari bahwa Rafli memiliki arti yang sangat besar bagi dirinya—terlepas seperti apapun dirinya—dan Eliana kini seperti merasa suatu bagian yang besar dari hidupnya telah hilang, dan pergi, dan bagian yang ditinggalkan oleh Rafli itu kini menjadi kosong...

Sudah hampir satu minggu ini Rafli tak kelihatan di kampus, dan tiba-tiba...Eliana jadi merasa rindu kepadanya. Se’eror’ apapun pacarnya itu, Eliana tahu bahwa Rafli adalah sosok yang baik—sosok terbaik yang pernah dimilikinya. Dan bila Eliana terjatuh dalam perasaan yang sentimentil seperti itu, Eliana pun jadi makin kehilangan...amat kehilangan...

Malam itu, di dalam kamarnya sendiri yang sunyi, sambil berbaring menyandar pada bantal di atas springbed-nya, Eliana memandangi jam dinding di hadapannya—di tembok kamarnya—dan menghitung suara detaknya yang terdengar kencang di telinganya, dan terus memandanginya.

Jarum jam di dinding itu terus bergerak—dan Eliana tahu bahwa gerakannya selalu ke arah kanan, tak pernah ke kiri. Apa yang sekiranya akan terjadi kalau jarumnya bergerak ke arah kiri, batin Eliana sambil tersenyum sendiri. Mungkinkah waktu bergerak mundur...?

Perlahan Eliana menggelengkan kepalanya, kemudian perlahan pula dia meraih ponsel di dekatnya berbaring. Bila dia memang telah merasa salah, tak ada salahnya kalau dia kini yang mengalah, pikirnya sambil membayangkan wajah innocent Rafli.

Sambil merasakan perasaannya yang dag-dig-dug sendiri, Eliana membuka phone-book di ponselnya dan mencari nama Rafli. Kemudian dihubunginya nomor itu.

Nada sambung terdengar—digantikan suara lagu kesukaan Rafli yang juga disukai Eliana. Kemudian terdengar suara sapaan yang telah begitu dikenal oleh Eliana.

“Halo, El...?”

“Rafli...?” Eliana menyapa ragu.

“El, aku senang kau meneleponku! Apa kabar?”

“B-baik. Kau...?”

“Luar biasa baik, El. Aku betah tinggal di sini.”

“Dimana kau sekarang?”

“Seperti yang pernah kukatakan kepadamu, aku di Negeri Kurcaci.”

Oh, itu lagi! “Dan kau betah di situ?”

“Aku dijadikan raja di sini, El,” terdengar suara senang di telinga Eliana, “dan aku begitu menikmati kehidupanku di sini.”

“Raf, kau... Hm...kapan kau akan kembali?”

“Kembali?”

“Maksudku, kembali ke dunia kita yang dulu—hm, yang...biasa.”

“Ya, ya, aku tahu maksudmu. Tapi mungkin aku tidak kembali, El.”

“Tidak kembali...???”

“Setiap kita memiliki tujuan hidup, El,” ujar Rafli dengan tenang di ponsel, “dan begitu kita telah sampai pada tujuan itu, kita tak akan pernah punya pikiran untuk kembali—dan aku telah sampai pada tujuan hidupku.”

“Aku...aku tidak paham maksudmu, Raf...”

“Kalau kau pernah kecebur got dan kemudian terdampar di negeri asing dan lalu kau menerima takdir sebagai seorang raja, kau akan tahu maksudku, El...”

Dengan hati yang patah, Eliana menutup ponselnya.

Ya, tak ada jalan untuk kembali. Seperti jarum jam yang selalu bergerak ke arah kanan—tak pernah ke kiri. Dan...mungkin, satu dari sepuluh kesalahan besar yang pernah dilakukan Eliana dalam hidupnya adalah jatuh cinta kepada Rafli.

Bersambung ke: Dunia Tak Terlihat (24)