Dunia Tak Terlihat

Raja Ediskus menatap kembali ke seluruh kurcaci di ruangan aula itu, kemudian dengan suara yang bergetar dia berkata, “Seluruh rakyat Negeri Kurcaci, kini tibalah pergantian kepemimpinanku karena aku sudah terlalu tua untuk terus menjadi pemimpin kalian, dan seperti yang telah disuratkan dalam Kitab Sang Nasib, negeri ini akan diperintah oleh raja yang baru...Raja Rafael.”

Seluruh tatapan mata di aula itu kemudian beralih ke arah Rafli yang kini duduk gemetar di sisi Dabi. Apa maksudnya ini...???

“Dabi, apa maksudnya ini?” bisik Rafli dengan gemetar.

Dan Dabi menjawab dengan suara yang sama lirihnya, “Tuan telah terpilih menjadi raja kami, itulah maksudnya.”

“Tapi...aku...” Rafli tak tahu harus mengatakan apa atas keterkejutannya yang luar biasa. Menjadi Raja Kurcaci...???

Ketika Rafli tengah bergelut dengan kepanikan dan kegugupannya sendiri, Raja Ediskus menatap ke arahnya, kemudian melambaikan tangannya. “Kemarilah, Nak,” katanya dengan lembut.

Rafli tak bergeming dari tempatnya. Bagaimana perasaanmu kalau kau tercebur ke dalam sebuah got di trotoar kotamu dan kemudian kau terdampar di sebuah negeri aneh dan kau tiba-tiba dinobatkan sebagai raja?

“Dabi, antarkan rajamu yang baru kemari,” kata Raja Ediskus dengan halus kepada Dabi yang masih berada di sisi Rafli.

“Mari, Tuan,” kata Dabi mempersilakan Rafli, dengan sikap yang penuh hormat.

“Tapi, Dabi, aku...aku tidak paham dengan...dengan...”

“Tuan akan mendapatkan seluruh penjelasannya dari Raja Ediskus,” sahut Dabi dengan senyum membesarkan hati. “Mari...”

Dan Rafli pun kemudian bangkit, diiringi oleh Dabi di sisinya, melangkah menuju ke tempat Raja Ediskus di ujung aula. Sementara ratusan kurcaci di sekeliling aula itu terdiam dalam keheningan.

Setelah Rafli dan Dabi duduk di hadapannya, Raja Ediskus menatap Rafli dengan ramah, kemudian bertanya dengan halus, “Siapa namamu, Nak?”

“Rafli,” jawab Rafli otomatis.

“Namamu telah tercatat dalam Kitab Sang Nasib ini,” ujar Raja Ediskus sambil menyentuh buku tua lusuh di pangkuannya, “dan itulah suratan hidupmu. Kau telah ditakdirkan menjadi raja di negeri ini.”

“Tapi, Tuan Raja...” Oh, begitukah cara memanggilnya? “Tapi, Tuan Raja, saya ini hanya anak Semarang yang tiba-tiba kecebur got di trotoar dan...dan saya tak tahu apa-apa...”

“Begitu pula dengan setiap raja yang pernah menjadi pemimpin di negeri ini, Rafael,” sahut Raja Ediskus sambil tersenyum.

“Rafael...? Nama saya Rafli, Tuan Raja.”

Sekali lagi Raja Ediskus tersenyum. “Di dalam bahasa asli bangsa kurcaci, tulisan Rafli dieja menjadi Rafael—dan namamu telah tertulis di dalam kitab ini sebagai salah satu raja yang akan memimpin di negeri ini—dan selama hari-hari terakhir ini, tanda-tanda kedatanganmu telah ditunjukkan...”

Rafli merasa dirinya semakin bingung dan semakin panik dan semakin gugup. “Tuan Raja, maafkan saya. Saya benar-benar tak tahu apa arti dari semua ini...”

Sejenak Raja Ediskus terdiam, lalu menghela napas dengan ringan, kemudian berkata kepada Rafli dengan sungguh-sungguh, “Rafael, Anakku, selama kehidupanmu sebagai manusia di Bumi Atas, pernahkah kau menjalani kehidupan manusia yang rusak seperti kebanyakan dari sesamamu?”

“Saya...saya tidak paham, Tuan Raja,” jawab Rafli jujur.

“Pernahkah kau mabuk, minum-minuman keras, umpamanya?”

Rafli menggeleng dengan jujur.

“Memakai obat-obatan terlarang?”

“Tidak, Tuan Raja.”

“Kau menyetujui perilaku freesex atau pernah melakukan hal itu meski dengan pacarmu sendiri?”

“Tentu saja tidak, Tuan Raja.” Kapan terakhir kalinya ia sempat berpelukan dengan Eliana?

“Kau tidak melakukan hal-hal tercela yang biasa dilakukan oleh sesamamu selama hidup bersama mereka?”

“Saya...saya bukan orang suci, Tuan Raja,” ujar Rafli. “Tapi sejauh yang dapat saya ingat, saya tidak pernah melakukan hal-hal semacam itu.”

“Tahukah kau, mengapa...?”

Dengan jujur Rafli menggelengkan kepala.

Bersambung ke: Dunia Tak Terlihat (22)