Dunia Tak Terlihat

Di mata Rafli, kediaman para kurcaci itu tak jauh berbeda dengan bentuk rumah di dunianya sendiri, hanya saja rumah-rumah para kurcaci lebih rendah atapnya dan ukurannya pun lebih mungil. Saat mereka sampai di tempat yang disebut ‘kediaman mereka’ itu, Rafli kemudian dibawa menuju ke tempat yang cukup luas semacam aula dengan atap yang rendah namun terlihat bersih dan asri.

“Tuan dapat duduk di sini,” ujar Dabi dengan sikap hormat pada Rafli, “dan kami akan mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut kedatangan Tuan.”

“Oh, eh, tidak perlu repot-repot,” sahut Rafli.

Dabi tersenyum lebar. “Tentu saja kami harus repot, Tuan, karena menyambut seorang tamu merupakan bagian dari kebahagiaan kami.”

Rafli duduk di salah satu bagian aula itu dan memperhatikan alas yang didudukinya—sepertinya tikar yang dibuat dari anyaman daun pandan namun dengan bentuk dan kualitas yang bagus sekali.

Beberapa saat kemudian, nampak puluhan kurcaci lain bermunculan ke aula itu sambil membawa sesuatu di tangannya—sepertinya piring-piring dengan makanan di atasnya. Ada pula yang membawa gelas-gelas piala dengan minuman di dalamnya. Oh gusti, mereka akan mengadakan pesta menyambut kedatanganku!

Dalam waktu singkat, bagian tengah aula itu telah penuh dengan makanan dan minuman yang baru pertama kali disaksikan oleh Rafli. Bentuknya aneh dan asing, namun Rafli mencium aroma yang sedap dari kepulan asap yang masih muncul dari beberapa masakan di situ.

Dan ketika Rafli mencoba mendekat ke arah makanan dan minuman itu, dia baru menyadari kalau semua piring dan gelas itu terbuat dari kristal-kristal yang amat indah. Semuanya nampak berkilau di matanya, dan Rafli pun bertanya-tanya sendiri dalam hati, sekaya apa negeri ini...?

Beberapa kurcaci mendekat ke tempat Rafli sambil meletakkan beberapa piring lagi. Mereka tersenyum kepada Rafli yang sepertinya sudah tak sabar untuk menikmati segala yang disuguhkan itu.

“Silakan dicicipi, Tuan,” kata salah satu dari mereka.

“Oh, eh, boleh...?” tanya Rafli tergagap karena merasa kalau wajahnya dapat dibaca.

Kurcaci itu mengangguk. “Tentu saja. Semua ini untuk Tuan.”

“Semua ini untukku?”

“Ya, untuk menyambut kedatangan Tuan. Kami selalu menghormati setiap tamu yang datang ke negeri kami.”

Rafli mengangguk dengan bingung, kemudian mencoba mengambil sepotong daging yang terlihat masih mengepulkan asap—kelihatan lezat di matanya. Dan saat mengecapnya di lidahnya, dan kemudian mengunyahnya, Rafli benar-benar merasakan kalau daging itu benar-benar lezat.

“Itu daging kijang muda, Tuan,” terang salah satu kurcaci. “Rasanya enak dan empuk, kan?”

“Ini...ini lezat sekali,” puji Rafli dengan jujur, dan para kurcaci itu pun tersenyum, dan Rafli kembali mencomot daging itu. Seharusnya kawan-kawan sekampusnya perlu hang out sesekali ke Negeri Kurcaci!

Bersambung ke: Dunia Tak Terlihat (20)