Dalam Rengkuh Sayap Malaikat

Di pinggiran kota Pekalongan, di salah satu kedai pinggir jalan yang sepi, tiga orang lelaki terlihat bercakap-cakap dengan serius, dengan suara yang pelan, sambil menghisap rokok—sementara minuman di gelas-gelas mereka tinggal separuh. Pelayan kedai tengah sibuk di belakang, dan tak ada tamu lain di kedai yang biasa sepi itu.

“Apakah Mira sudah berangkat?” tanya lelaki pertama—berwajah keras, bersuara gelisah.

“Dia selalu melakukan tugasnya dengan baik, tak perlu khawatir. Uang itu berada di tempat yang aman,” sahut lelaki kedua—bermata sipit, berwajah bayi, bersuara bening.

“Mungkin yang kemarin itu termasuk hasil kita yang terbesar,” ujar lelaki ketiga—bermuka tirus, terkesan kejam—suaranya sengau.

Lelaki pertama tersenyum, meski suaranya masih terdengar gelisah, “Aku tak menyangka kalau perempuan tua itu bisa mati—kukira aku hanya sedikit menusuknya waktu itu.”

“Tak perlu khawatir, tak ada yang melihat kita waktu itu.” Lelaki kedua menyahut dengan suara bening yang rendah.

“Tapi ada seorang perempuan yang sempat melihat kita waktu kita akan kabur dengan mobil itu!” Lelaki pertama meremas tangannya—gelisah. “Kalau dia memberitahukan apa yang dilihatnya pada polisi...”

Lelaki ketiga menyela dengan suaranya yang sengau, “Orang-orang saat ini sepertinya malah percaya kalau perempuan itulah pelakunya—siapa itu namanya...?”

“Firsha...?”

“Ya, itu. Kambing hitam yang benar-benar tepat.” Lelaki kedua tersenyum. “Aku senang membacanya di koran-koran.”

“Tapi sekarang dia telah dikeluarkan dari ruang tahanan,” ujar lelaki pertama sambil menyentuh gelas minumannya dengan gelisah.

“Bukankah itu lebih bagus?”

Lelaki pertama menatap kawannya, “Apa maksudmu?”

Lelaki kedua memelankan suaranya meski terdengar masih bening, “Saat ini masyarakat sepertinya sudah percaya bahwa dialah pelakunya—atau salah satu pelakunya—sementara polisi sama sekali tak mengetahui jejak kita. Satu-satunya orang yang bisa kita pastikan melihat kita hanyalah perempuan itu. Kalau perempuan itu kita bungkam, maka urusan kita akan selesai.”

“Jadi?” Lelaki pertama menatap lelaki kedua.

Lelaki kedua menjawab dengan berbisik, “Habisi dia—dan kita aman selamanya.”

“Kau yakin ini akan berhasil?”

“Kita tak pernah gagal, kan?” Lalu lelaki kedua menatap lelaki ketiga—berwajah tirus, terkesan kejam dan bersuara sengau—dan si lelaki ketiga mengangguk pasti. Dia kemudian membisikkan sesuatu, dan dua kawannya mengangguk sambil tersenyum.

“Dimana perempuan itu sekarang?” tanya si lelaki ketiga.

“Koran-koran menyebutkan kalau sekarang ia ditampung di rumah pengacara itu.”

“Bagus. Kita akan lebih mudah menjemputnya.”

***

Di salah satu rumah di sebuah komplek perumahan mewah, terdengar teriakan penuh kemarahan.

“Jadi bangsat itu dikeluarkan dari ruang tahanannya...?!” Lelaki itu menggebrakkan tangannya pada meja di hadapannya dengan wajah yang amat kesal, sementara seorang lelaki lainnya nampak memandanginya dengan bingung.

Lelaki di hadapannya menyahut, “Masalahnya, Bos, perempuan itu sekarang memiliki pengacara, dan pengacaranya itulah yang kemudian mengeluarkannya.”

“Jadi dia punya uang untuk menyewa pengacara?!” suaranya begitu sinis.

“Yang saya dengar, Bos, dia tidak membayar pengacaranya itu—maksud saya, pengacara itu yang menawarkan bantuannya secara gratis.”

“Siapa pengacaranya itu?”

“Daniel Gusman—pengacara brengsek itu.”

“Kalau begitu seret bangsat itu kemari untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya!” Wajah lelaki itu memerah dengan gigi yang bergemeletuk. “Kalau polisi tak bisa membereskannya, maka kita yang akan membereskannya!”

“Tapi dia tinggal di rumah pengacaranya, Bos...”

“Bukankah itu lebih memudahkanmu untuk menculiknya, dibanding jika dia masih di ruang tahanan???”

Bersambung ke: Dalam Rengkuh Sayap Malaikat (10)