Dalam Rengkuh Sayap Malaikat

Bersama pengacaranya pulalah, Firsha kembali ke rumah neneknya yang kini telah lengang dan hampa, dan melalui salah seorang tetangganya, dia diantarkan ke makam neneknya. Daniel Gusman menemani di sisinya.

Di makam neneknya—ketika melihat batu nisan putih tertancap di atas tanah makamnya—Firsha tak sanggup menahan air matanya yang runtuh. Ada penyesalan—mengapa di akhir kehidupan neneknya dia tak bisa menyaksikan-nya—dan penyesalan itu kini seperti berubah menjadi sembilu yang mengiris di hatinya. Firsha tersedu-sedu di sisi makam neneknya, sementara Daniel Gusman merengkuh bahunya dengan lembut.

“Tabahkan hatimu, Firsha,” kata Daniel Gusman dengan suara yang serak.

Dan Firsha pun tak kuasa untuk menahan kepalanya yang kemudian terjatuh di bahu kukuh di sisinya—dan dia menuntaskan tangisnya dalam pelukan malaikatnya.

***

Karena mengkhawatirkan keselamatan Firsha—dan juga menyadari bahwa Firsha tetap belum aman sebelum para pelaku kejahatan itu tertangkap—Daniel Gusman pun meminta agar Firsha tinggal di rumahnya. Firsha tak punya alasan untuk menolak karena dia sendiri juga akan merasa takut sekaligus kesepian jika memilih tinggal di rumah neneknya. Maka Firsha pun setuju untuk tinggal sementara di rumah pengacaranya itu sampai kasus menyangkut dirinya itu selesai, atau setidaknya keadaan telah memungkinkannya untuk kembali menjalani hidup seperti biasa.

Untuk sementara itu pula, Firsha belum bisa melanjutkan pekerjaannya sebagai buruh di tempatnya biasa bekerja, karena pabrik tempat bekerjanya telah menurunkan surat keputusan untuk menghentikan Firsha sementara waktu sebelum ada kejelasan dari pengadilan bahwa Firsha bukanlah pelaku kejahatan itu. 

Daniel Gusman adalah seorang duda cerai, dan dia tinggal di rumah yang cukup mewah bersama seorang pembantu dan seorang tukang kebun. Komplek perumahannya berada di daerah yang hening dan tenang—tak jauh dari jembatan Hiloji. Firsha cukup menyukai tempat tinggal sementaranya itu—ia menempati kamar tamu yang jarang dipakai di rumah Daniel Gusman.

Pertama kali tinggal di sana, Daniel Gusman menjanjikan kepada Firsha untuk mempelajari kasus yang menimpanya itu, sekaligus akan mulai menyusun rencana pembelaan jika sewaktu-waktu Firsha dipanggil lagi ke kepolisian, atau kalau kasus itu dibawa ke pengadilan. Sekali lagi Firsha tak tahu bagaimana harus mengucapkan terima kasihnya yang amat besar.

Di dalam kamar barunya yang cukup nyaman itu, Firsha baru menyadari kalau dirinya telah banyak berubah. Di depan cermin di dalam kamarnya dia memandangi dirinya sendiri yang seolah tak dikenalinya lagi. Sudah berapa abadkah dia tak bercermin?

Wajahnya nampak begitu pucat—dengan bayang hitam melingkari kedua matanya—sudah bermalam-malam dia tak pernah bisa tidur. Rambutnya kusut, dan...di manakah wajahnya yang dulu terlihat manis itu...? Bibirnya begitu kering, dan Firsha merasakan kalau tubuhnya jadi terlihat amat kurus. Persoalan berat yang menjadi beban batinnya yang seperti datang bertubi-tubi itu seolah merenggut segala keindahan yang pernah dimilikinya.

Tapi kemudian Firsha mencoba bersyukur, karena setidaknya dia masih memiliki seseorang yang mau peduli kepadanya. Teringat pengacaranya, Firsha jadi merasa tidak sendirian lagi. Ia tahu bahwa sekejam apapun dunia kepadanya, pasti selalu ada hati yang mau terbuka menerimanya.

Ia yakin bahwa seumpama seluruh dunia memalingkan muka darinya, Tuhan pasti akan mengirim salah satu malaikat-Nya untuk menemaninya. Ya, Firsha yakin bahwa pengacaranya itu pasti akan dapat membantunya mengatasi segala persoalannya ini—dan Firsha berdoa agar masalahnya cepat selesai.

Dan sambil menunggu penyelesaian itu yang entah kapan selesainya, Firsha tahu bahwa tak ada salahnya kalau ia mulai membenahi dirinya kembali agar setidaknya keindahan yang pernah dimilikinya dapat kembali lagi.

Ia kembali menatap cermin, memandangi bayangannya, dan kemudian mengambil bedak untuk sedikit mengurangi pucat di wajahnya.

Untuk beberapa saat lamanya Firsha cukup merasa nyaman tinggal di sana—bersama sang penolong yang seolah turun dari langit—sebelum bahaya lain kemudian memburunya...

Bersambung ke: Dalam Rengkuh Sayap Malaikat (9)