Dalam Rengkuh Sayap Malaikat

Di kantor polisi itulah Firsha pertama kali mengetahui bagaimana latar belakang menyangkut tas itu dan segala yang disaksikannya di sana—dan Firsha benar-benar shock saat mendengarnya. Beberapa saat sebelum Firsha menyentuh tas itu, telah terjadi perampokan yang disertai tindak kekerasan di depan gereja yang berada tak jauh dari sana.

Tiga orang lelaki dan satu orang perempuan merampok seorang ibu yang sepertinya akan memasuki gereja—merampas tas yang dibawa-nya—dan karena sang korban tak segera memberikan tasnya, salah satu dari perampok itu pun menusukkan belati ke perut ibu itu. Sang ibu yang telah cukup tua itu sekarang terkapar di rumah sakit—antara hidup dan mati—sementara keempat perampoknya kabur, dan polisi masih terus memburunya.

Beberapa orang saksi yang sempat melihat perampokan itu mengatakan bahwa mereka tak dapat melihat wajah dari masing-masing perampok itu dengan jelas karena jarak yang jauh dari lokasi kejadian—namun sialnya, dua orang dari para saksi itu mengatakan bahwa pelaku yang perempuan memiliki ciri-ciri fisik yang hampir sama—atau bahkan sama persis—dengan Firsha.

Ketika perampokan dan tindak kekerasan itu mulai diketahui orang-orang di lokasi kejadian, mereka pun kemudian mencoba mengejar para pelaku yang melarikan diri ke arah jalan Pagilasan—dan di sanalah mereka kemudian menemukan Firsha yang tengah memegangi tas milik korban perampokan itu.

“Tapi...tapi saya tidak melakukan perbuatan itu!” jerit Firsha dengan putus asa di kantor polisi itu, sementara puluhan orang berkerumun di luar kantor untuk menyaksikan ‘salah satu perampok yang kini telah tertangkap’.

Petugas di kantor polisi yang menangani kasus itu mencoba bersikap bijak dalam menghadapi sosok perempuan di depannya yang kelihatan sangat ketakutan dan gemetaran itu—karena bagaimanapun juga belum ada bukti yang konkrit atas kejahatan yang dituduhkan kepadanya—sementara keramaian di luar kantor polisi terdengar makin menjadi-jadi.

Ketika dengan bingung dan ketakutan Firsha mencoba menjelaskan mengapa dia sampai berada di jalan Pagilasan sendirian hingga menemukan tas itu, tiba-tiba pintu kantor polisi dibuka secara kasar, dan seorang lelaki masuk dengan wajah amat muram. Dan sebelum Firsha atau polisi di hadapannya sempat berkata apa-apa, lelaki itu langsung merenggut Firsha dengan kasar dan memojokkannya ke salah satu dinding.

“Kenapa kau sakiti ibuku, bangsat?!” teriaknya seperti kesetanan. “Kenapa kau sakiti ibuku...?!!”

“Saya...saya tidak...” Firsha menjawab ketakutan, sementara air matanya bergulir membanjiri pipinya.

Polisi di ruangan itu berusaha menarik lelaki itu dari tubuh Firsha, namun lelaki itu seperti sudah kesetanan.

“Kalau sampai ibuku tak tertolong, aku akan membunuhmu!” ancam lelaki itu dengan garang, sementara air mata Firsha semakin bercucuran.

Polisi itu pun akhirnya menarik si lelaki dengan kasar, dan begitu renggutannya terlepas dari Firsha, lelaki itu menatap Firsha dengan pandangan mata penuh amarah, dendam dan kebencian.

“Aku pasti akan mencarimu!” ucapnya penuh kebencian sambil menudingkan jarinya ke wajah Firsha. “Aku pasti akan membunuhmu...!”

Firsha terduduk, terkulai di sisi dinding, dan merasakan dunia seolah menudingkan jarinya ke arahnya. Dia telah tersudut. Tak ada orang yang dapat dimintai pertolongan dan bantuannya, tak ada saksi yang dapat membebaskannya, tak ada alibi yang dapat menyelamatkannya, sementara barang bukti kejahatan ada di tangannya...

Bersambung ke: Dalam Rengkuh Sayap Malaikat (5)