Dalam Rengkuh Sayap Malaikat

“Bintang-bintang itu seperti dekat sekali, Mike,” bisik Firsha dengan takjub.

“Ambillah, kalau tanganmu sampai,” kata Mikhael sambil tertawa kecil.

Dan Firsha menggapai-gapaikan tangannya kepada bintang-bintang itu, namun sejauh apapun tangannya menjangkau, jari-jarinya tak pernah mampu menyentuh satu bintang pun.

“Ketika hari masih siang, sebenarnya bintang-bintang itu sudah ada di sini, Firsha,” kata Mikhael sambil menatap ke arah langit.

“Oh ya?”

“Ya, tapi keberadaannya terhalang oleh terangnya sinar matahari. Karena itulah diciptakan malam untuk menggantikan siang. Kau tahu mengapa?”

“Mengapa?” tanya Firsha sambil menatap Mikhael.

Dan Mikhael menjawab, “Karena kegelapan diperlukan untuk melahirkan bintang.”

Firsha memejamkan kedua matanya, kemudian berbisik lembut, “Aku suka kata-kata itu... Karena kegelapan diperlukan untuk melahirkan bintang...”

“Segalanya melewati proses yang sama, Firsha,” ujar Mikhael perlahan-lahan, “seperti cahaya bintang yang baru lahir setelah melalui kegelapan malam, segala sesuatu yang bersinar harus melewati kegelapan yang sama. Emas yang paling berkilau juga harus dibakar dalam bara yang paling panas, mutiara yang paling bercahaya harus digosok terlebih dulu dengan amat keras, dan wewangian yang paling memabukkan juga dihasilkan dari bunga-bunga yang rela diperas untuk diambil sarinya...”

“Kau benar, Mike,” bisik Firsha.

“Dan itu kebenaran yang abadi, kan?” Mikhael menatap Firsha. “Tidak selamanya kau akan berada di dalam kesusahan dan penderitaanmu, karena setelah kau melewatinya, kau pun akan menemukan kehidupan yang lebih terang, bersinar, dan lebih bercahaya. Bukankah siapapun yang menginginkan terangnya fajar pagi harus melalui gelapnya malam hari...?”

“Aku belum pernah mendengar kebenaran seindah itu,” bisik Firsha kembali.

Sayap-sayap Mikhael terus berkepak-kepak seiring keberadaan mereka yang semakin tinggi dan semakin tinggi. Dan Firsha semakin merasakan keheningan yang luar biasa mendamaikan. Dia seperti merasa bebas—tak terhalang apapun—dan dia merasakan dunianya begitu luas, hidupnya amat tak terbatas...

“Aku belum pernah merasakan kedamaian yang begitu menenangkan seperti ini, Mike,” bisik Firsha.

“Seperti yang kukatakan tadi, kau akan merasakan kedamaian kalau kau mau memasuki keheningan.”

“Kalau saja aku tahu itu.”

Mikhael tersenyum. “Sekarang kau telah tahu, kan?”

Firsha membalas senyum itu. “Oh ya, Mike, bagaimana kau bisa sampai di bumi dan menemukanku saat akan terjatuh di sungai itu?”

Mikhael terdiam sesaat, kemudian menjawab dengan lirih, “Aku sengaja turun ke bumi, Firsha.”

Sekali lagi Firsha tersenyum. “Apakah malaikat terkadang memang turun ke bumi?”

“Ya,” jawab Mikhael. Kemudian berbisik, “Khususnya ketika ia sedang jatuh cinta.”

Firsha menatap wajah di dekatnya. “Jadi, kau sedang jatuh cinta?”

“Apakah kau tidak merasakannya...?” Mikhael menatap mata Firsha dengan pandangan yang begitu lembut—tatapan paling indah yang tak akan pernah dilupakan oleh Firsha sampai berabad-abad lamanya.

Dan Firsha terdiam mendengar ucapan terakhir itu. Kalau sesosok malaikat menyatakan cinta kepadamu, kau tidak akan punya alasan untuk menolak, kan?

“Firsha,” bisik Mikhael.

“Mm...?”

“Tahukah kau bagaimana rasanya dicintai?”

Firsha memejamkan kedua matanya, kemudian berbisik perlahan, “Aku merasa...seperti direngkuh oleh sayap malaikat...”

“Tentu saja,” bisik Mikhael.

Firsha merasakan tubuhnya terus melayang, namun dia kini tak lagi menghiraukan sekelilingnya. Ia nampak begitu damai memejamkan kedua matanya dalam rengkuhan Mikhael yang terus membawanya terbang di kisi-kisi langit, di bawah bintang-bintang, tak jauh dari rembulan.

“Kenapa kau memejamkan matamu?” tanya Mikhael perlahan.

“Aku tak ingin mimpi indah ini cepat berakhir,” jawab Firsha.

Mikhael tertawa kecil. “Mimpi indah tak pernah berakhir, kalau kau selalu berani untuk bermimpi. Bukalah matamu. Kau akan menyesal kalau tak melihat apa yang ada di dekatmu sekarang.”

Dan Firsha pun membuka matanya. Sekarang dia melihat bulan seperti berada dalam jangkauannya.

“Oh, Mike,” kata Firsha dengan tawanya, “kau akan membawaku kesana?”

“Kalau kau suka.”

“Tentu saja aku suka...!”

Dan sayap-sayap itu pun terus mengembang berkepak-kepak, melintasi cakrawala, menembus mega-mega, dan dalam rengkuhan yang amat lembut dirasakannya, Firsha tersenyum menatap bulan, sementara tangannya bergerak-gerak menggapai bintang-bintang.

(Tamat)