Misteri Pembunuhan Berantai

HENRY merasakan tubuhnya begitu panas dingin. Ia merasa sangat kuatir dengan perbuatan yang baru saja dilakukannya. Apakah tadi tak ada orang yang melihatnya? Henry menyadari bahwa teman-teman kampusnya banyak yang menggunakan Jembatan Hilir ini sebagai tempat pacaran.

Tapi waktu itu dia tak tahu lagi di mana tempat yang bisa digunakannya untuk melakukan hal itu. Satu-satunya tempat yang terlintas dalam pikirannya hanya Jembatan Hilir itu. Kalau saja tadi tidak sedang mabuk, mungkin dia bisa mengingat tempat lain yang lebih aman dan tersembunyi. Tapi biarlah. Semua telah terjadi.

Henry hanya bisa berharap tak ada orang yang dikenalnya yang tahu perbuatannya tadi. Ia juga mencoba meyakinkan dirinya bahwa suasana di sekitar Jembatan Hilir itu juga tidak seramai biasanya, dan pasti, sekali lagi pasti, tak ada satu pun temannya yang melihatnya. Apa yang akan mereka lakukan bila tahu hal ini?

Ini bukanlah yang pertama. Henry sudah berkali-kali melakukan hal ini tanpa sepengetahuan teman-temannya. Mereka pasti akan terbelalak tak percaya bila melihat ini! Mereka bahkan mungkin akan menjauhinya. Tapi mau bagaimana lagi? Henry sudah menganggap hal itu sebagai salah satu kesenangan baru dalam hidupnya.
   
Henry terus melajukan mobilnya yang semakin menjauh dari daerah Jembatan Hilir. Tadi setelah hasratnya terlampiaskan, Henry langsung meninggalkan ‘perempuan’ itu di sana. Ia menarik napas, mencoba menenangkan perasaannya. Jalanan yang begitu sepi membuat pikirannya cepat menjadi sedikit tenang dan Henry pun mencoba untuk bernyanyi-nyanyi kecil.
   
Belum sempat dia menyelesaikan senandungnya, Henry merasakan ponselnya bergetar dalam saku celananya. Ponsel kecil kesayangannya itu memang selalu memberikan getar lebih dulu sebelum berdering. Henry langsung merogoh saku celananya dan melihat nama Wawan tertera pada layar ponselnya. Ada apa Wawan meneleponnya dini hari begini?
   
“Yep, Wan,” sapa Henry langsung.
   
“Belum tidur, Hen?” suara Wawan di seberang sana.
   
“Sama seperti kamu,” jawab Henry sambil tertawa kecil, karena dia bingung harus menjawab apa.
   
“Dimana kamu, Hen? Kalau belum mengantuk, temani aku di rumah. Aku kesepian sekali. Aku ingin minum-minum denganmu.”
   
“Memangnya keluargamu pada kemana?”
   
“Semuanya ke kampung. Grandfather lagi sakit keras. Gimana, Hen? Bisa, kan?”
   
Henry terdiam sejenak sebelum menjawab. “Sori berat, Wan. Aku sudah mau tidur nih.”
   
“Kamu lagi di jalan, kan? Aku mendengar suara mobil…”
   
“Aku…iya, aku lagi di jalan,” jawab Henry serba salah. Dia melirik jendela mobilnya yang terbuka.
   
“Hei, kok kamu kedengaran gugup?”
   
Sial, apakah suaraku benar-benar terdengar gugup? “Aku sudah ngantuk berat nih, Wan,” jawab Henry asal-asalan.
   
“Oke deh Hen, semoga kamu nggak ketangkap polisi.” 
   
“Apa?!”
   
“Maksudku, semoga kamu nggak ketangkap polisi karena nyetir sambil ngantuk!” Wawan terdengar tertawa kecil. “Oke Hen, selamat tidur.” Dan wawan pun memutuskan hubungan.
   
Bersambung ke: Misteri Pembunuhan Berantai (48)