Misteri Pembunuhan Berantai

“Ya, Josh?” sapa Firdha langsung begitu hubungan tersambung. Diliriknya Om Herman yang tengah berbaring-baring di atas tempat tidur.
   
“Fir, aku perlu ketemu denganmu. Ini penting sekali.” Suara Joshep terdengar aneh di telinga Firdha.
   
“Sekarang?” tanya Firdha dengan bingung.
   
“Iya, sekarang.”
   
“Nggak bisa ditunda? Sekarang aku lagi bersama tamuku, Josh.”
   
“Sori Fir, ini benar-benar penting sekali.”
   
“Nggak bisa kita bicarakan lewat telepon?”
   
“Kalau bisa, aku sudah mengatakannya sekarang juga. Oke, aku tunggu kamu sekarang di Jembatan Hilir. Sekarang juga.” Dan Joshep mematikan ponselnya.
   
Firdha menghela napas. Apa lagi yang ingin dikatakan Joshep? Semenjak pertemuan mereka yang kemudian bersekongkol untuk membohongi polisi, Firdha belum lagi bertemu dengan Joshep. Joshep sendiri pun sama sekali tak menghubunginya atau menanyakan apakah sudah ada polisi yang menemuinya.

Tapi kemudian dia menghubunginya secara tiba-tiba pada tengah malam seperti ini dengan suara yang aneh sekali. Ada apa lagi? Firdha sebenarnya merasa sangat enggan untuk meninggalkan Om Herman. Lebih dari itu, dia juga malas kalau harus keluar sendirian ke Jembatan Hilir yang jaraknya agak jauh dari lokasi hotelnya sekarang ini.
   
Jembatan Hilir yang disebutkan Joshep tadi adalah sebuah jembatan yang dilintasi sungai kecil di bawahnya. Jalanan di sekitar Jembatan Hilir sering sepi karena jalan yang dihubungkan oleh jembatan itu bukanlah jalan utama. Biasanya daerah sekitar Jembatan Hilir dipakai sebagai tempat pacaran muda-mudi bila malam minggu.

Suasananya yang tidak terlalu ramai membuat mereka merasa nyaman duduk-duduk di dalam mobil sambil berbincang-bincang dengan pasangannya masing-masing. Joshep pun mengundang Firdha ke Jembatan Hilir tentu dengan alasan serupa, agar pembicaraan mereka bisa lebih nyaman dan tenang.
   
Firdha segera memakai pakaiannya. Wajahnya yang sedikit cemberut langsung membuat Om Herman bertanya, “ada masalah, Firdha?”
   
“Saya ada keperluan mendadak, Om. Bisa kan, kalau saya tinggal sebentar?”
   
Om Herman tersenyum. “Tentu. Pakai saja mobil Om kalau memang diperlukan.”
   
Begitu selesai mengenakan pakaiannya, Firdha segera menerima kunci mobil milik Om Herman.
   
“Ingat ya, Firdha. Om masih menunggumu di sini,” kata Om Herman dengan senyum nakalnya.
   
“Nggak usah kuatir, Om. Saya pasti kembali.” Firdha segera beranjak dari sisi Om Herman setelah lelaki setengah baya itu selesai mengecup pipinya. Baru saja Firdha menyentuh handle pintu untuk memutar kuncinya, Om Herman kembali memanggil.
   
“Oya, Firdha. Siapa tuh Joshep? Pacarmu?”
   
Firdha tertawa kecil. “Bukan. Dia teman kuliah saya,” jawab Firdha dengan sedikit buru-buru. Dia pun kemudian segera berlalu dari hadapan Om Herman begitu pintu kamar itu terbuka. Om Herman hanya mengangkat bahu saat pintu kamarnya menutup kembali, meninggalkan aroma wangi tubuh Firdha. Om Herman mengambil minuman lagi. Semoga saja gadis manis itu tak lama meninggalkannya di sini.

Bersambung ke: Misteri Pembunuhan Berantai (46)