Dunia Tak Terlihat

Rafli menyaksikan ada empat perempuan yang berdiri menghadang langkahnya—empat perempuan dengan wajah putih, berambut lurus dan bertubuh indah, dengan pakaian yang sepertinya dapat mengembang seperti sayap.

“Si...siapa kalian?” sapa Rafli dengan terkejut bercampur heran dan sedikit bingung.

Salah satu dari empat perempuan itu tersenyum ramah, dan berkata, “Selamat datang di negeri kami.”

“Negeri kalian...?” Rafli tidak paham.

“Kau telah datang di Negeri Peri.” Salah satu perempuan itu mengumumkan.

Rafli memperhatikan keempat sosok perempuan di hadapannya dengan lebih teliti, dan sekarang ia baru menyadari kalau keempat perempuan itu sepertinya berdiri dengan ringan—tanpa menyentuh tanah. Pakaian mereka berkibar-kibar di permukaan tanah, namun Rafli dengan jelas melihat kalau telapak kaki mereka mengambang di udara.

“Jadi...jadi kalian ini...peri...?” tanya Rafli dengan tergagap.

Keempat perempuan itu mengangguk dengan anggun.

Dan petualangan yang paling mendebarkan pun dimulai—atau setidaknya seperti itulah yang diceritakan Rafli.

Ketika Rafli mulai menyadari keberadaannya di dunia yang lain dari dunianya sendiri, Rafli mulai menjadi panik—ia ingin kembali. Namun keempat gadis peri itu menggelengkan kepala. Ketika Rafli mencoba menembus tembok kembali seperti tadi, tembok itu tak mampu ditembusnya.

Kemudian tanpa berucap apa-apa, keempat gadis peri itu mendekati Rafli, lalu dengan ringan mereka menyentuh tubuh Rafli—dan membawanya terbang meninggalkan tempat itu. Rafli tidak tahu dia akan dibawa kemana, namun setidaknya ia bersyukur karena telah mengambil tas ranselnya—ponselnya yang mahal ada di dalam tasnya.

Rafli merasakan tubuhnya melayang—tak menapak tanah—dalam pegangan empat gadis peri yang terus membawanya itu, hingga kemudian mereka sampai di sebuah tempat seperti pemukiman. Rafli diturunkan, lalu empat gadis peri itu membawa Rafli ke salah satu rumah yang terlihat paling besar dan paling indah di situ—dan sekali lagi Rafli tak tahu apa yang akan ia hadapi.

Pintu rumah terbuka, dan Rafli beserta empat peri itu melangkah memasukinya. Rafli menyaksikan sebuah tempat semacam singgasana di dalam rumah yang indah itu, dan empat peri yang bersamanya kini duduk di atas permadani. Rafli pun tahu bahwa dia juga harus duduk seperti mereka.

“Tempat apa ini?” bisik Rafli dengan bingung.

“Ini kediaman Bunda,” jawab salah satu peri di dekatnya.

“Bunda...?” Rafli bertanya hampa. “Maksudmu, ibumu?”

“Bunda para peri,” seorang peri yang lain memberikan jawaban.

“Dan mengapa aku dibawa ke sini?” tuntut Rafli.

“Sesaat lagi kau akan mengetahui.”

Lalu dari ruangan dalam muncul seorang wanita yang melangkah anggun menuju ke kursi yang mirip singgasana itu—dan Rafli memperhatikan wanita itu pun memiliki wajah serta penampilan yang sama dengan empat peri yang telah membawanya ini—hanya saja wanita yang ini terlihat lebih berumur. Inikah bunda para peri?

“Salam hormat, Bunda,” ucap keempat peri di sekeliling Rafli dengan sikap yang menunduk penuh hormat, sementara wanita yang disebut bunda itu duduk di kursinya.

“Jadi, manusia yang kita tunggu sudah datang?” kata sang Bunda, dengan suara yang amat lembut, kemudian tatapannya mengarah kepada Rafli.

Manusia yang kita tunggu? Rafli merasakan jantungnya berdebar-debar.

Bersambung ke: Dunia Tak Terlihat (8)