Dunia Tak Terlihat

Hari itu juga, tubuh besar raksasa itu dibawa kembali ke penjaranya—di kawah Tanjungbumi. Dibutuhkan beratus-ratus peri untuk menyeret tubuh yang luar biasa besar itu, namun tugas yang amat melelahkan itu terselesaikan juga, dan raksasa itu pun kini kembali mendekam di dalam tempatnya yang layak—di bawah bumi, di dasar kawah gunung berapi.

Sambil dikelilingi empat peri yang kini seperti telah menjadi sahabatnya, Rafli duduk menikmati buah-buahan di kediaman Bunda Fricasvarillya, sementara bunda para peri itu menatap Rafli dengan senyuman penuh syukur.

“Akhirnya kau dapat membuktikan pada dirimu sendiri, Anakku,” kata Bunda Fricasvarillya, “bahwa kau memang manusia yang telah dikirim oleh sang Takdir untuk menyelesaikan misi besar ini.”

“Tapi, Bunda, saya tak merasa seperti itu,” sahut Rafli dengan jujur. “Saya malah berpikir bahwa sebenarnya tanpa diri saya pun, para peri di sini pasti dapat mengalahkan raksasa itu...”

“Kau salah paham, Anakku.” Bunda Fricasvarillya tersenyum bijak. “Para peri tidak diberi kuasa untuk melakukan hal semacam itu. Para peri hanya diberi keindahan—dan itulah takdir kami.”

Rafli menganggukkan kepalanya meski dia tidak yakin dengan pemahamannya.

Dua sosok peri masuk ke ruangan itu dan memberikan laporan kepada Bunda Fricasvarillya bahwa semua tugas menyangkut raksasa Gonakareka telah selesai ditunaikan. Bunda Fricasvarillya mengangguk, dan dua peri itu pun kembali pergi.

Rafli bertanya, “Bunda, bagaimana kalau suatu saat raksasa itu keluar kembali dari penjaranya?”

“Maka sang Takdir akan kembali mengirimkan seorang manusia ke sini, Anakku,” jawab Bunda Fricasvarillya dengan lembut. “Hanya manusia—selamanya hanya manusia—yang diberi kuasa untuk mengalahkan kejahatan, dan bersekutu dengan keindahan yang suci.”

Rafli mengangguk dengan sungguh-sungguh. Misinya telah selesai.

***

Tak lama setelah itu, Rafli pun meminta agar segera dibawa kembali ke dunianya sendiri. Dia bukannya tidak betah tinggal di negeri peri itu—ia hanya merasa tak enak karena telah meninggalkan pacarnya sampai beberapa hari lamanya tanpa kabar apapun.

Maka keempat peri yang dulu menjemputnya pun kini menjadi pengantarnya menuju ke dunianya kembali. Bersama Ratna, Sibyan, Lilya dan Havni, Rafli melayang meninggalkan negeri peri, dan dengan panduan yang diberikan keempat peri itu, Rafli dapat kembali memasuki dunianya dengan menembus salah satu dinding di lapangan basket kampusnya. Dari sana, Rafli langsung pergi menuju ke rumah Eliana—dan sekarang di rumah pacarnya itulah dia kini berada, dan menceritakan segala yang telah dialaminya.

Eliana manggut-manggut seperti orang bego—antara percaya dan tidak—setelah mendengarkan semua cerita itu. Rafli begitu serius dan sungguh-sungguh sekaligus begitu detail saat menceritakan kisah pengalamannya itu—dan Eliana tak punya alasan untuk tidak percaya. Namun cowoknya itu juga sudah berkali-kali menunjukkan gejala-gejala ‘eror’ dalam otaknya—dan Eliana pun berpikir kalau pengalaman yang baru saja didengarnya itu tak jauh beda dengan pengalaman pacarnya saat menjadi Superman atau Spiderman sebelumnya.

“Kau tidak membawa kembali bola basketmu, Raf?” tanya Eliana kemudian karena ia tak tahu harus bertanya apa—semuanya sudah begitu gamblang diceritakan oleh pacarnya.

“Tidak,” jawab Rafli dengan lesu. “Bola itu menancap di kepala raksasa itu—tepat di matanya.”

Eliana seperti bergidik ngeri. “Tapi syukurlah, Raf, semuanya sudah selesai,” desah Eliana kemudian.

“Ya,” sahut Rafli dengan desah yang sama. “Semuanya sudah selesai...”

Bersambung ke: Dunia Tak Terlihat (14)