Dunia Tak Terlihat

Keempat peri itu saling berpandangan dengan bingung, karena juga tak tahu apa yang sekarang harus mereka lakukan—atau yang harus dilakukan oleh Rafli—mereka tidak membekali diri dengan senjata. Sementara raksasa itu semakin dekat dan kelihatannya semakin ganas.

Rafli yang tengah melayang dalam pegangan empat peri itu teringat pada bola basket yang ada dalam genggaman tangannya. Bolanya ini masih penuh terisi angin dan Rafli tahu bagaimana cara melempar yang tepat agar menyentuh keranjang.

JJGGLAMMMM...!!! JJGGLAMMMM...!!!

Raksasa itu kembali mendekati mereka dengan tiga kepalanya yang semakin menjulur-julur tak karuan karena merasa sangat marah.

“Bawa aku ke atas,” kata Rafli pada keempat peri yang membawanya terbang itu.

“Bagaimana, Rafli?” tanya Lilya yang tak memahami maksud Rafli.

“Bawa aku terbang lebih ke atas!” perintah Rafli. Dan keempat peri itu pun segera membawanya terbang lebih tinggi.

Rafli memegangi bola basketnya dengan erat. Dia mencoba mengukur jaraknya dari kepala raksasa sialan itu, dan dengan bibir yang bergetar ia berkata pada para peri di sekitarnya, “Bawa aku lebih dekat.”

“Lebih dekat kemana?” tanya Ratna tak paham.

“GGGGRRRRRHHHH...!!!”

“Lebih dekat ke bocah itu!” teriak Rafli mengatasi suara raksasa itu yang membahana.

Keempat peri itu pun melayang membawa Rafli ke tempat yang diinginkannya, dan begitu ia merasa jaraknya telah sangat tepat, Rafli pun mulai mengarahkan bola basket di tangannya ke arah tiga kepala besar mengerikan yang kini tengah bergerak-gerak itu. Jika keranjangnya adalah yang bagian tengah...dan lubangnya adalah matanya...

Namun baru saja Rafli akan melempar bolanya, kedua tangan raksasa itu telah bergerak melayang ke arah mereka. Satu tepukan saja akan menghancurkan tubuh mereka semua, batin Rafli dengan panik.

“GGGGRRRRRHHHH...!!!”

Keempat peri itu menarik tubuh Rafli sejauh-jauhnya dari raksasa itu, dan Rafli menyaksikan raksasa itu menepuk sesuatu yang kosong. Tepukannya memperdengarkan suara yang memekakkan telinga.

“GGGGRRRRRHHHH...!!!” Raksasa itu kembali berteriak marah sambil menatap Rafli beserta empat perinya dengan galak. Tiga kepalanya makin bergerak-gerak mengerikan.

“Bawa aku mendekat lagi,” kata Rafli pada keempat peri yang masih terus memeganginya melayang di udara.

Keempat peri itu patuh dan mereka kini melayang kembali mendekati raksasa itu. Sejenak mereka harus berputar-putar dulu untuk membingungkan raksasa itu, dan kini mereka berada di bagian samping raksasa itu.

Sekali lagi Rafli menghitung jaraknya dengan raksasa itu. Ia berada di sampingnya. Namun jika raksasa itu berbalik ke arahnya atau kepalanya menengok ke arahnya...

Dan dugaan Rafli benar-benar tepat. Beberapa detik kemudian, ketiga kepala raksasa itu menjulur ke arahnya dengan tatapan beringas.

Dengan mengerahkan seluruh kekuatannya, Rafli pun melemparkan bola basketnya ke bagian tengah tiga kepala raksasa itu. Bola itu meluncur dengan sangat keras dan kuat, dan kemudian menghantam kepala raksasa itu—tepat di bagian matanya.

“AAARRRRRGGGGHHHH...!!!” Raksasa itu berteriak marah dengan kedua tangan besarnya menggapai-gapai udara, namun ketiga kepalanya nampak mulai terkulai—tak dapat bergerak-gerak liar seperti tadi. Dan beberapa saat kemudian...

DBUUMMMMMM...!!! Tubuh raksasa yang sangat besar itu pun jatuh terkulai di atas tanah. Guncangannya menerbangkan debu-debu ke udara.

Dan pecahlah sorak-sorai yang memekakkan telinga dari depan kediaman Bunda Fricasvarillya. Rafli yang masih melayang bersama empat peri yang membawanya menengok ke arah sorak sorai itu, dan dia menyaksikan beratus-ratus peri tengah mengelu-elukan dirinya—dengan wajah-wajah yang bersinar, dengan senyum-senyum yang cemerlang.

Seumur hidup, sepanjang karirnya di lapangan basket, baru kali ini ia memperoleh sambutan luar biasa atas keberhasilannya memasukkan bola ke dalam keranjang! Mendapatkan tepuk tangan meriah dari para peri—pernahkah kau memperoleh yang seperti itu...???

Bersambung ke: Dunia Tak Terlihat (13)